BLOGGER TEMPLATES AND TWITTER BACKGROUNDS

Rabu, 09 Maret 2011

pesimis

Pesimis adalah memandang alam dengan kebencian, dan melihat dunia dengan kemurkaan. Orang yang pesimis melihat sesuatu itu hitam. Baginya, bunga itu tampak berduri, butir tanaman tampak baginya bom, dan melihat hujan baginya bagaikan api. Orang pesimis itu selalu mengerutkan dahi, berwajah muram, dadanya sempit, tidak mempunyai asa, harapan, jalan keluar, tidak pula kemudahan. Dia melihat bahwa hari-hari itu selamanya malam, kefakiran akan selalu meyertai, kelaparan akan senantiasa menemani, dan sakit tidak akan sembuh. Kamus orang pesimis itu berisi kematian, sakit, kebinasaan, kegalauan, kegagalan, dan keterpurukan. Orang pesimis mati setiap hari hingga berkali-kali, merasa apar padahal dia masih kenyang, merasa fakir padahal dia kayak arena dia mentaati setan.
“Setan menjajikan (mentakut-takuti) kemiskinan kepadamu dan menyuruh kamu berbuat keju (kikir).”(Al-Baqarah:268)
 Pesimis adalah sikap dimana manusia banyak didominasi oleh pikiran negatif. Manusia yang pesimis memiliki hidup penuh kebimbangan
dan keraguan, tidak yakin pada kemampuan diri sendiri, kepercayaan
dirinya mudah goyah dan mudah putus asa kalau menemui kesulitan atau
kegagalan, selalu mencari alasan dengan menyalahkan keadaan dan orang
lain sebagai proteksi untuk membenarkan dirinya sendiri, padahal di
dalam dirinya dia tahu bahwa betapa rapuh mentalnya, orang pesimis
lebih percaya bahwa sukses hanyalah karena kebetulan, keberuntungan
atau nasib semata.
Lawan dari pesimis adalah optimis. Orang yang otimis memiliki sikap yang banyak didominasi oleh pikiran positif. Orang yang optimis berani
mengambil resiko, setiap mengambil keputusan penuh dengan keyakinan
dan kepercayaan diri yang mantap. orang optimis bukanlah karena
melihat jalan mulus di hadapannya, tetapi orang yang mempunyai
keyakinan 100% dalam melaksanakan apa yang harus diperjuangkan, orang
optimis tahu dan sadar bahwa dalam setiap proses perjuangannya pasti
akan menghadapi krikil-krikil kecil ataupun bebatuan besar yang
selalu menghadang!
Orang yang pesimis selalu memandang realita dengan kacamata negatif, dan menimbulkan masalah besar yang akan menjadi beban baru dalam kehidupannya.Terlebih lagi jika oaring pesimis memiliki pengalaman gagal dalam kehidupannya,maka kegagalan yang pernah dialami dianggapnya akan berulang kembali terhadap aktivitas baru yang akan dilakukan.Orang pesimis biasanya lemah dan lamban dalam mensikapi keadaan,, mereka menghadapi situasi mudah dengan sikap yang sulit dinalar, dalam diri orang pesimis selalu muncul pertanyaan di antaranya (aku malu, aku takut, aku tidak bisa, aku nanti gagal, wah repot lagi, dll). Setiap melihat kenyataan maka yang muncul adalah pikiran-pikiran buruk yang dianggapnya sebagai kenyataan yang pasti akan terjadi, sehingga menyebabakan orang pesimis tidak ada keberanian untuk berbuat atau pun mengambil manfaat dari situasi dan keadaan yang dihadapi.
اللَّهُمَّ لَا خَيْرَ إِلَّا خَيْرُكَ وَلَا طَيْرَ إِلَّا طَيْرُكَ وَلَا إِلَهَ غَيْرُكَ
Allaahumma Laa Khaira Illaa Khairuka, wa Laa Thaira Illaa Thairuka, wa Laa Ilaaha Ghairuka
“Ya Allah, tidak ada kebaikan kecuali kebaikan yang berasal dari-Mu dan tidak ada kesialan kecuali kesialan yang berasal dari-Mu (yang telah Engkau tetapkan), dan tidak ada tuhan selain Engkau.” (Hadits shahih, riwayat Ahmad)
Dasar Hadits
Diriwayatkan dari Abdullah bin ‘Amr radhiyallahu 'anhu, ia berkata: “Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam bersabda,
مَنْ رَدَّتْهُ الطِّيَرَةُ مِنْ حَاجَةٍ فَقَدْ أَشْرَكَ
Siapa yang mengurungkan niatnya karena thiyarah, maka ia telah berbuat syirik.” Lalu para sahabat bertanya, “Apa tebusan bagi hal itu?” Beliau bersabda, “Hendaknya salah seorang mereka membaca,
اللَّهُمَّ لَا خَيْرَ إِلَّا خَيْرُكَ وَلَا طَيْرَ إِلَّا طَيْرُكَ وَلَا إِلَهَ غَيْرُكَ
Ya Allah, tidak ada kebaikan kecuali kebaikan yang berasal dari-Mu dan tidak ada kesialan kecuali kesialan yang berasal dari-Mu (yang telah Engkau tetapkan), dan tidak ada tuhan selain Engkau.” (HR. Ahmad: 2/220, dari Abdullah bin Amr radhiyallahu 'anhuma. Dishahihkan oleh Syaikh Ahmad Syakir dalam Ta’liq Musnad Ahmad no. 7045)
 Mengapa manusia pesimis

Terdapat dua faktor umum yang mendorong manusia menganut pesimis:
  1. Faktor internal atau individual;
  2. Faktor eksternal atau sosial.     
Adalah tidak diragukan bahwa dalam kerangka pengenalan manusia mustahil dipisahkan dari pengaruh individu dan masyarakat, karena keduanya saling berpengaruh satu sama lain dan kalau faktor-faktor di atas dibagi menjadi dua bagian tidak lain adalah semata-mata karena intensitas efek dan pengaruh faktor yang satu atas faktor lainnya. Faktor-faktor internal seperti ketiadaan atau kesalahan dalam pendidikan, perasaan terhina, tidak rela atas dirinya, dan aspek kejiwaan lain. Faktor-faktor eksternal seperti kerusakan lingkungan sosial, perubahan nilai-nilai manusia, pandangan dunia, dan lain lain.
Pada kesempatan ini, hanya faktor-faktor yang terpenting yang akan dianalisa. Di antara banyak faktor yang mungkin berpengaruh dalam mengantarkan manusia ke lembah pesimisme dan nihilisme, yang akan disebutkan adalah faktor-faktor yang bersifat umum dan universal yang meliputi banyak motivasi-motivasi partikular. Sebagai contoh, kerusakan dan kesalahan pendidikan merupakan salah satu faktor yang umum dan universal yang bisa mencakup aspek-aspek partikular seperti ketiadaan kasih sayang dalam program pengajaran, pendekatan yang non-manusiawi, kekerasan, dan lain-lain.
Dalam mengkaji faktor-faktor tersebut di atas harus memperhatikan poin-poin sebagai berikut:
  1. Mustahil dapat dikatakan bahwa hanya satu faktor dan penyebab hadirnya pesimisme dan nihilisme, karena tabiat manusia hanya dapat berubah dengan faktor-faktor yang banyak. Lebih dari apabila hanya satu faktor yang berpengaruh dalam kejiwaan manusia, mekanisme defensif yang ada dalam diri manusia akan bisa menjinakkannya dan manusia tak terpengaruh olehnya.
  2. Kecenderungan manusia pada pesimisme dan nihilisme memiliki derajat dan tingkatan, yakni semua individu yang terjebak dalam pesimisme dan nihilisme tidak berada dalam satu tingkatan kualitas yang sama. Dan kualitas ini sangat bergantung pada pribadi setiap individu.
  3. Intensitas dan bentuk pesimisme dan nihilisme pada individu bergantung pada faktor-faktor yang berpengaruh atasnya, seperti seorang yang patah hati dalam cinta atau tidak berhasil mencapai kedudukan yang diinginkan akan terjebak dalam pesimisme, namun setelah berlalunya waktu ia mendapatkan cinta yang baru atau berhasil menggapai posisi yang lain, dengan demikian ia bisa bangkit lagi dan menjauh dari pesimisme. Sementara seorang yang jatuh ke lembah pesimisme dan nihilisme karena faktor kekeliruan dalam mengenal hakikat dan tujuan penciptaan alam semesta adalah sangat mungkin tetap terjebak dalam paham tersebut sepanjang hayatnya.
  4. Pengaruh pesimisme dan nihilisme pada setiap manusia juga sesuai dengan umur dan kualitas rasionalitas dan pemikirannya serta karakter pribadi masing-masing individu, karena: Pertama, anak remaja pada masa baligh biasanya mengalami semacam goncangan kejiwaan dan cenderung pesimis yang disebabkan oleh transformasi masa kanak-kanak ke masa remaja dan perubahan pada struktur pisik dan jiwa yang merupakan kemestian di masa baligh. Sementara manusia yang telah dewasa lazimnya tidak mengalami perubahan semacam itu. Kedua, manusia yang memiliki pengetahuan luas dan setelah mempelajari beragam aliran-aliran pemikiran lantas tidak bisa menetapkan salah satu pemikiran yang benar, pada akhirnya akan mengalami kebingungan dan terjebak dalam pesimisme dan nihilisme. Pesimisme orang seperti ini pasti berbeda dengan pesimisme anak remaja yang baru melewati masa baligh. Ketiga, sisi kepribadian manusia menentukan kemampuan defensif dalam menghadapi realitas arus negatif pesimisme dan nihilisme. Individu yang terwarnai dengan warna asli keagamaan sangat sulit dan hampir mustahil terpengaruh oleh arus negatif ini. Sementara seseorang yang bebas dan tidak terikat dengan budaya agama kemudian tersandung dengan persoalan besar kehidupan yang tidak mampu ia selesaikan kemungkinan besar akan terimbas oleh arus itu.
  5. Pesimisme dan nihilisme memiliki tahapan yang beragam dan sangat mungkin seseorang akan terjabak dalam pesimisme pada waktu tertentu, namun setelah penyebab keterjebakan itu sirna ia tak berada dalam lembah pesimisme. Keadaan lain mungkin terjadi pada manusia dimana sangat mustahil dia dapat bangkit dan melepaskan dirinya dari cengkeraman pesimisme sepanjang hidupnya.
Di bawah ini kami akan jabarkan dan uraikan faktor-faktor mendasar yang menyebabkan hadirnya kecenderungan manusia dan keterjebakannya dalam Pesimisme dan Nihilisme.
1. Dilema Penciptaan
Dalam perjalanan sejarah, manusia senantiasa ingin mengetahui dari mana dia berasal, untuk apa ia hadir di muka bumi ini, dan kemana ia akan pergi setelah kematian. Sebagian manusia merasa tidak mampu memberikan solusi atas persoalan-persoalan tersebut kemudian mengabaikannya dan sebagian lain yang minoritas sangat serius memandang masalah-masalah itu dan berusaha secara terus menerus mencari jawaban hakikinya.
Permasalahan tersebut dihadapi oleh semua kalangan pemikir dan filosof, namun problematika penciptaan itu dapat diselesaikan dengan cermat bagi sebagian filosof, terutama para filosof Muslim. Hal ini karena para filosof Islam, seperti Al-Farabi, Ibnu Sina, Khwajah Nashiruddin Thusi, Mulla Sadra, dan filosof Islam kontemporer, bersentuhan dengan sistem filsafat yang sempurna dan pengetahuan mereka yang lengkap terhadap teks-teks suci agama Islam. Dengan demikian, para filosof ini tidak jatuh ke lembah pesimisme dan nihilisme. Berbeda dengan para pemikir lainnya, seperti tokoh-tokoh yang dikenal sebagai pendukung filsafat pesimisme dan nihilisme, karena mereka tidak mempunyai sistem filsafat yang komprehensif, metodologi berpikir yang sempurna, dan tidak menjangkau sumber asli agama pada akhirnya tidak dapat memahami dan memberikan solusi yang sempurna atas semua persoalan tersebut. Dan puncaknya adalah mereka berpegang pada konsep pesimisme dan nihilisme.
Di sini bisa dikatakan bahwa manusia yang tidak berkontemplasi, bertadabbur, bertafakkur atas hakikat dan tujuan penciptaan serta tidak berupaya menggali rahasia eksistensi niscaya menyebabkan dia tertarik ke arah pesimisme dan tersungkur ke jurang gelap nihilisme. Sementara berpegang teguh pada sistem filsafat Ilahi dan teks suci agama, manusia dapat menyingkap tabir rahasia alam dan akan mengantarkannya pada pengetahuan hakiki tentang tujuan dan filsafat penciptaan, dengan demikian dia dapat selamat dari keterjebakan dalam pemikiran pesimisme dan pandangan nihilisme.
2. Rahasia Kematian
Fenomena kematian merupakan salah satu faktor yang mendasar bagi kecenderungan manusia kepada pesimisme dan nihilisme. Hakikat kematian yang tak terungkap menarik begitu banyak para pemikir dan filosof ke arah pesimisme. Manusia yang telah terjebak dalam kesenangan lahiriah dan juga mengetahui bahwa kesenangan itu mesti berakhir, maka seketika itu ia akan putus asa dan pesimis, kemudian dia akan bertanya pada dirinya sendiri, apakah kehidupan ini memiliki nilai?
Orang-orang yang tidak terperangkap dalam pesimisme dan nihilisme adalah hanya orang-orang yang percaya bahwa pasca kematian terdapat alam keabadian (alam akhirat) dan yakin bahwa kehidupan di dunia ini adalah suatu tahapan untuk memasuki tahapan lain dari kehidupan yang lebih sempurna dan abadi, dengan demikian kematian bukan akhir dari kehidupan, tetapi jembatan yang menghubungkan antara dunia ini dengan dunia lain. Namun bagi mereka yang tidak percaya akan keberadaan alam-alam lain selain alam materi ini, maka kematian bermakna akhir kehidupan, dengan kedangkalan pengetahuan ini mereka niscaya akan pesimis dan menganut nihilisme.
3. Keraguan
Pada satu sisi keraguan merupakan salah satu faktor terpenting dalam mengenal alam wujud dan eksistensi. Seorang pemikir dan filosof yang belum mengalami keraguan terhadap masalah-masalah eksistensial dan ontologi pada umumnya tak bisa mengenal secara luas realitas-realitas lain.
Pencapaian-pencapaian ilmiah dan filsafat yang dialami oleh sekian banyak pemikir dan filosof bersumber dari keraguan-keraguan terhadap tema-tema mendasar makrifat manusia, apabila ilmu dan pengetahuan manusia  tidak diragukan oleh para ilmuwan, maka ilmu dan pengetahuan manusia akan tetap berada dalam tingkatan tertentu, tidak mengalami kemajuan, dan tidak akan lahir beragam aliran dan sistem pemikiran ilmu dan filsafat.
Jika manusia menjadikan keraguan tersebut sebagai perantara dan jembatan menuju perolehan pengetahuan dan makrifat ontologi serta ilmu-ilmu lainnya, maka hal tersebut sangatlah bermanfaat. Namun kalau keraguan seseorang tetap berlangsung, artinya dia tetap berada dalam keraguan dan tetap tinggal pada jembatan keraguan tersebut, bahkan meragukan hal-hal yang paling gamblang, jelas, dan aksioma sekalipun seperti meragukan keberadaan alam ini atau keberadaan dirinya sendiri, maka bentuk keraguan ini tidak boleh dikategorikan sebagai keraguan ilmu dan filsafat, karena orang seperti ini sesungguhnya mengalami sakit kejiwaan. Walhasil, bentuk keraguan semacam ini, yakni keraguan kejiwaan, akan menarik manusia kearah pesimisme dan nihilisme, karena dia telah sampai meragukan semua persoalan bahkan kepada keberadaan dan eksistensi kehidupannya sendiri.
4. Tiadanya Cita-Cita dan Ideologi     
Tanpa diragukan bahwa manusia yang tidak memiliki harapan, tujuan, cita-cita, dan ideologi pasti akan mengalami putus asa dan pesimisme. Seseorang yang tidak menentukan arah dan tujuan kehidupannya yang kemudian berusaha dengan segenap kemampuan menggapainya atau dia hanya mengikuti perubahan-perubahan yang ada dan menempatkan dirinya semata pada realitas yang ada, maka ketika berbenturan dengan berbagai kejadian dan fenomena yang tidak menguntungkan dirinya dan bahkan terjebak dalam persoalan yang tidak ada solusinya pasti akan putus asa dan pesimis.
Keberadaan tujuan, cita-cita, harapan dan ideologi dalam kehidupan pada beberapa aspek bisa mengantisipasi pesimisme dan nihilime, pertama manusia yang memiliki ideologi pasti akan berharap untuk sampai pada cita-cita ideologinya dan harapan ini akan mencegah manusia untuk putus asa dan pesimis. Kedua, segala usaha untuk mencapai tujuan ideologi membuat manusia menjadi sangat sibuk dengan dirinya dan tidak mengijinkan pikiran-pikirannya terpengaruh oleh pesimisme dan nihilisme.
Ketiadaan ideologi pada individu dan masyarakat merupakan salah satu alasan fundamental bagi kecenderungan sebagian besar remaja dan pemuda kepada pesimisme, karena mereka ini sama sekalai tidak mengetahui secara hakiki apa yang diinginkan dan apa yang dicari dalam kehidupan ini.
Perubahan-perubahan yang terjadi dimasyarakat dan kontradiksi-kontradiksi yang ada dalam berbagai tradisi kehidupan manusia menyebabkan lahirnya perubahan pada nilai-nilai, harapan, cita-cita, dan ideologi manusia, dan realitas perubahan yang tak tertolak ini menghadirkan keberadaan suatu kelompok manusia yang tidak mampu menetapkan satu ideologi bagi mereka secara sempurna. Bertrand Russel memandang bahwa salah satu faktor mendasar kecenderungan sebagian remaja dan pemuda di Barat kepada pesimisme adalah ketiadaan ideologi dan cita-cita yang sempurna. Ia sangat berkeyakinan bahwa perubahan nilai-nilai agama menyebabkan hilangnya berbagai cita-cita, berkata, “Apabila pemuda dan remaja di Barat sekarang ini hanya menampakkan sikap pesimisme, maka hal ini mesti disebabkan oleh faktor khusus. Pada masa kini, para pemuda bukan hanya tidak bisa menerima apa yang dikatakan pada mereka, bahkan mereka tidak bisa lagi meyakini dan mempercayai sesuatu. Dan keadaan ini sangatlah ajaib dan mesti mendapatkan suatu perhatian dan observasi khusus. Mari kita mengkaji ulang satu persatu cita-cita dan ideologi masa lalu dan mencari tahu mengapa cita-cita dan ideologi tersebut tidak lagi memberikan pengaruh dan menarik perhatian remaja dan pemuda.”[1]
5. Perubahan Nilai
Salah satu faktor yang penting ketika suatu masyarakat berpindah dan berubah dari satu keadaan kepada keadaan yang lain dan menyebabkan hadirnya pesimisme pada manusia adalah persoalan nilai-nilai, karena ketika terjadi perubahan pada setiap masyarakat begitu banyak nilai-nilai akan juga mengalami perubahan, diinginkan atau tidak. Perubahan nilai-nilai ini – dimana sebelum terjadinya perubahan tersebut manusia sangat bergantung dan bersandar padanya serta menafsirkan kehidupan dengannya – menyebabkan terjadinya suatu pukulan yang besar pada kejiwaan manusia. Seseorang yang sangat berpijak pada tradisi-tradisi, pada suatu kondisi akan mengalami kebingungan yang bersumber dari satu kontradiksi kejiwaan. Suatu kontradiksi dalam menerima dan memilih nilai-nilai tradisional dengan nilai-nilai baru. Kalau seseorang ini memiliki kualitas pikiran dan pengetahuan luas yang dengannya ia dapat memilah yang baik dan yang buruk serta memilih yang baik itu sebagai suatu nilai baru baginya, maka dia pasti terhindar dari problematika kejiwaan baik dari aspek pikiran maupun dari dimensi perbuatan. Namun apabila dia tidak mampu memilih suatu nilai baru baginya, yakni dia tidak bisa menerima nilai-nilai baru itu bagi pembentukan pribadinya dan penerapan nilai-nilai lama juga akan mengalami hambatan yang sulit, maka dia akan mengalami suatu keraguan yang berpuncak pada keadaan yang pesimisme dan putus harapan.
Sebagai contoh, salah satu nilai yang mengalami perubahan pada masa kini adalah cinta. Pada abad-abad yang lalu, cinta dan kasih sayang merupakan tiang pokok dan pondasi utama kehidupan manusia yang menyebabkan kehangatan pada keluarga dan keterikatan seseorang pada keluarganya, namun pada masa kini, dikarenakan kebebasan seksual, cinta dan kasih sayang tidak bermakna lagi. Hal inilah yang menyebabkan ketiadaan keterikatan manusia lagi pada kehidupan keluarganya. Nilai-nilai lain yang mengalami perubahan adalah dalam masalah akhlak. Pada masa kini, beberapa nilai akhlak mengalami perubahan lewat pemikiran Darwin, Marks, dan Nitche. Di masa lalu kasih sayang, cinta, memaafkan, kedermawanan, dan pemurah adalah nilai-nilai kebaikan, namun sekarang ini, menurut pandangan Nitche, kekerasan, kekejaman, kekejian, ketidaksopanan, pameran kekuatan, dan riya adalah nilai-nilai baik. Perubahan konsep ini menyebabkan memudarnya nilai-nilai akhlak, hubungan dan kepercayaan sesama manusia menjadi sirna, dan tak ada lagi cinta dan kasih sayang. Puncak dari semua perubahan nilai ini adalah hilangnya keterikatan manusia pada kehidupan.
6. Materialisme
Seorang penganut materialisme beranggapan bahwa seluruh fenomena, peristiwa, dan kejadian yang terwujud di alam semesta ini bersumber dari hal-hal yang bersifat kebetulan belaka dan tidak berasal dari rangkaian sebab-akibat (kausalitas). Mereka juga memandang bahwa manusia menjalani kehidupan di dunia ini dalam beberapa waktu dan kehidupan manusia akan berakhir dengan kematian (yakni pasca kematian tak ada lagi kehidupan bagi manusia). Ajaran materialisme menetapkan bahwa kehidupan dunia merupakan puncak tujuan manusia dan kebahagiaan dititik beratkan pada kehidupan materi dan kesejahteraan hidup. Sementara agama dan pandangan dunia ilahi meletakkan kehidupan dunia ini sebagai perantara dan bukan akhir kehidupan serta untuk mencapai kehidupan yang kekal dan sempurna mesti melewati gerbang kematian. Jadi dalam hal ini, kehidupan dunia merupakan alat untuk menggapai kesempurnaan hakiki dan bukan tujuan hakiki kehidupan manusia. Dengan demikian orang-orang yang beragama bisa menanggung kesulitan, penderitaan, dan malapetaka yang terjadi di dalam kehidupan duniawi dan tidak jatuh ke jurang pesimisme dan nihilisme. Berbeda dengan orang-orang materialisme yang tidak percaya pada Tuhan dan kehidupan pasca kematian, beranggapan bahwa keberadaan diri mereka dan alam semesta ini tidak memiliki arah dan tujuan serta memandang bahwa kehidupan dunia ini adalah perkara yang sia-sia dan tak bermakna. Kehidupan dunia dalam gagasan materialisme merupakan suatu pengulangan-pengulangan yang meletihkan dan membebani manusia, dengan demikian segala usaha manusia pun bersifat sia-sia dan tidak berguna sama sekali.
Kaum materialis tidak memahami rahasia dan hakikat penciptaan, oleh karena itu mereka pun tidak akan mengetahui asal keberadaan mereka, tujuan kehadiran mereka di dunia ini, dan puncak perjalanan kehidupan mereka. Ujung dari semua ini tidak lain ialah keraguan, pesimis, putus asa, merasa asing , teralienasi, dan tidak ada tempat untuk mengeluhkan dan memohon pertolongan.
Pada hakikatnya manusia membutuhkan tempat berlindung dan berpijak yang tanpa itu manusia mustahil menjalani kehidupan. Setiap tujuan yang dipilih dan ditetapkan oleh kaum materialis, karena bersifat nisbi dan relatif, bukan merupakan tempat berlindung dan batu pijakan hakiki. Namun orang-orang beragama yang menempatkan Tuhan sebagai tempat berlindung dan bersandar, karena Dia sebagai Yang Maha Mutlak dan meliputi segala perkara kehidupan manusia serta memiliki pengaruh yang tidak terbatas, merupakan sebaik-baiknya ideologi.
7. Lingkungan Sosial
Kondisi lingkungan sosial yang tidak seimbang menyebabkan begitu banyak manusia tertarik ke arah pesimisme dan nihilisme. Faktor ini, khususnya di abad kontemporer, merupakan salah satu hal yang mendasar keterjebakan manusia pada pesimisme. Tokoh-tokoh pencetus ide pesimisme, seperti Sartre, Albert K, dan Kafka, yang apabila ditelaah latar belakang kehidupan mereka nampak bahwa faktor lahirnya gagasan mereka ini disebabkan oleh kondisi lingkungan sosial yang tidak seimbang dan tidak teratur.
8. Pendidikan              
Seseorang yang dibesarkan dan dididik di dalam keluarga yang terdidik, suci, penuh kasih sayang dan cinta sangat kecil kemungkinan mengalami pesimisme. Hal ini akan sangat berbeda dengan seseorang yang dibesarkan di dalam keluarga yang tidak berpendidikan, tidak bermoral, penuh kebencian dan tidak memiliki cinta dan kasih sayang yang proporsional. Masalah pendidikan ialah hal yang paling mendasar untuk mewujudkan manusia yang sukses dan berhasil dalam kehidupan atau juga menghadirkan manusia yang pesimisme dan nihilisme. Pendidikan yang membuat manusia menjadi sempurna adalah pendidikan yang berpijak pada filsafat penciptaan, dalam koridor hakikat kemanusiaan, dan ajaran Ilahi.
9. Kegagalan Meraih Cita-Cita
Kebanyakan manusia meletakkan sesuatu dalam kehidupan sebagai cita-cita dan berusaha mewujudkannya. Namun karena suatu halangan mereka tidak dapat meraih cita-cita tersebut dan akhirnya berujung pada putus asa dan pesimisme. Penentuan cita-cita dan ideologi merupakan asas kehidupan, namun bersyarat bahwa ideologi yang dipilih oleh manusia itu mesti jauh dari segala kekurangan dan kelemahan. Manusia ketika menentukan suatu tujuan dan harapannya untuk mencapai tujuan tersebut harus sesuai dengan nilai yang ada pada tujuan itu, dengan ungkapan lain bahwa nilai harapan bergantung pada nilai tujuan dan cita-cita yang dipilih oleh manusia. Berdasarkan hal ini, kalau manusia berhasil menggapai cita-citanya, maka kebahagiaannya pasti sesuai dengan tingkatan nilai yang ditentukan dalam cita-citanya tersebut. Begitu pula sebaliknya, apabila dia tidak sukses meraih cita-citanya, maka kualitas putus asa dan pesimismenya sesuai derajat nilai cita-cita.
Walhasil, putus asa dan pesimisme setiap orang yang lahir dari kegagalan meraih cita-cita adalah bertingkat-tingkat dan berbeda-beda, karena bergantung pada nilai cita-cita tersebut. Oleh karena itu, pertama-tama harus teliti dalam memilih tujuan dan untuk tujuan ini mesti sesuai dengan nilai yang merupakan tuntutan hakiki kehidupannya. Manusia tidak selayaknya menentukan suatu tujuan yang pada hakikatnya bukan tujuan utama dan memandang tujuan tersebut sebagai sesuatu yang sangat bernilai dan berharga, karena kalau dia tidak berhasil mencapainya pasti akan mengalami putus asa, kekecewaan, pesimisme, dan nihilisme. Dengan demikian, dia justru akan kehilangan tujuan hakiki dan nilai kehidupan yang sangat berharga dan abadi, yakni kebahagiaan, kesempurnaan, dan keselamatan di alam akhirat yaitu alam pasca kematian.
10. Merasa Rendah Diri   
Merasa rendah diri dan hina juga merupakan faktor lahirnya pesimisme. Apabila rasa rendah diri ini mencapai derajat tertentu akan menyebabkan suatu penyakit kejiwaan. Pada umumnya, orang yang mengidap penyakit ini pada awalnya senantiasa melihat cacat dan kelemahan dirinya serta tidak memandang kelebihan dirinya.
Sesungguhnya perasaan seperti ini juga memiliki sisi positif, karena membuat manusia berusaha menyempurnakan dirinya. Tapi pada level negatif menyebabkan manusia merasa asing dengan diri sendiri dan larut dalam kelemahan dirinya. Dan karena dia merasa gagal dalam kehidupan lantas menjadi pesimis dan putus asa. Dia menderita terus menerus dalam kerendahan dirinya dan kehilangan sikap untuk mengambil suatu keputusan yang tegas dan benar.
11. Ketidaksesuaian dengan Lingkungan  
Kesesuaian dengan lingkungan merupakan salah satu syarat mendasar bagi kehidupan suatu makhluk hidup. Apabila diamati kehidupan binatang, maka kita akan memahami bahwa setiap kali berhadapan dengan kesulitan senatiasa berusaha supaya sistem kehidupannya disesuaikan dengan kondisi lingkungan dan adaptasi terhadapnya. Kalau binatang itu kehilangan adaptasinya, maka niscaya kehidupannya akan segera punah. Manusia dalam hal ini sedikit berbeda dengan hewan, manusia mempunyai ilmu dan kemampuan yang luas untuk beradaptasi terhadap lingkungan.
Apabila manusia tidak mampu menemukan lingkungan yang pantas dan sesuai dengannya, maka akan putus asa, mengalami goncangan kejiwaan, dan terjebak dalam pesimisme dan nihilisme. Dengan demikian, dia akan kehilangan nilai yang sangat berharga dalam kehidupannya yang mendatang, yakni akan kehilangan kesempurnaan hakiki dan kebahagiaan abadi.
12. Tidak Rela atas Keadaan Diri
Salah satu faktor penting dan mendasar yang menyebabkan manusia terjebak pesimisme adalah tidak rela terhadap kondisi diri, yakni manusia tidak rela atas jenis kelaminnya. Misalnya seorang laki-laki atau perempuan tidak rela atas kelaki-lakiannya atau keperempuannya. Kerelaan atas kondisi diri merupakan syarat atas keseimbangan jiwa dan ruhani manusia.

tips untuk mengatasi pesimis 
1. Yakinkan diri kita seyakin yakinya bahwa tidak ada yg tidak mungkin, dan kita dapat menghilangkan sifat pesimis itu.
2. Ingat bahwa sifat pesimis membuat kita merugi alias tidak ada untungnya
3. Selalu berpikir positif bahwa apa yang kita lakukan akan berhasil, walaupun gagal kita akan mendapatkan pengalaman yang berharga.
4. Jangan memandang kegagalan sebagai hal yang sangat patal, tapi jadikan sebagai pacuan agar kita lebih giat berusaha dan tangapi dengan santai.
5. Jangan memikirkan dampak negatif secara berlebihan dari apa yg kita lakukan atau berprasangka buruk tapi berpikirlah tentang dampak positifnya.
6. Ingat jangan mudah mengeluh..
7. Berbincanglah atau bergaul dengan orang-orang yang dikenal optimis dan giat berusaha.
8. Jika perlu bergurulah pada orang yang anda angap berpengalaman dan sangat yakin bahkan slalu optimis dengan apa yang dialakukan
9. Selalu ingat dampak pesimis Atau akibat yang selama ini kita alami dari virus ini.
10. Bandingkan diri anda dengan orang-orang yang optimis dan yakinkan bahwa jika dia bisa mengapa aku tidak.
11. Berusahalah dan berdoa..
Aku yakin kita bisa. Kita pasti bisa. Untuk itu mintalah dukungan dari orang yang kalian percaya dan kalian sayangi.
Dampak dari sifat pesimis: 

Dalam menghadapi persoalan, setiap orang memiliki sudut pandang kejiwaan yang berbeda-beda. Ada yang biasa biasa saja, ada yang selalu optimis,dan ada pula yang cenderung pesimis. Semua itu terkait dengan kehidupan masa lalu. Tempaan hidup yang dipengaruhi factor social dan ekonomi menjadikan manusia memilki naluri yang beragam. Jika kebetulan orang tersebut selalu melihat masa lalu yang negative dan hal-hal yang bersifat pesimis, ia akan lebih mudah dihinggapi gejala depresi.
Depresi bisa dipicu oleh banyak hal, selain social ekonomi juga termasuk factor genetic, peristiwa-peristiwa hidup, dan factor psikologis. Beberapa psikologis menghubungkan depresi dengan learned belplessness (ketidak berdayaan yang dipelajari) saat kita merasa begitu kehilangan kendali atas hidup kita sampai mencoba saja sudah terasa tidak berguna atau tidak ada tujuan lagi. Psikolog lainnya menghubungkan gejala ini dengan pemikiran yang salah mengenai cara kita memandang dunia mempengaruhi mood atau perasaan kita. Teori-teori psikoanalisis milihat depresi sebagai agresi yang berbalik kedalam diri sendiri. Selain itu, depresi juga dapat disebabkan oleh ketidakseimbangan biokimia. Contohnya, dikalangan penderita depresi ditemukan kadar asam amino tryptophan yang rendah.
Kemajuan penyembuhan penderita yang mengalami stroke, misalnya, sangat ditentukan oleh seberapa besar rasa pesimis atau optimisnya penderita selama menjalani perawatan. Tanda-tandanya timbulnya depresi biasanya apatis terhadap lingkungan sekitarnya, tidak lagi memikirkan cara menumbuhkan rasa optimisme pada dirinya, dan hanya berkonsentrasi pada segi fisik dan naluri emosinya saja. Dan hal ini akan menyiksa si penderita sehingga penyakitnya tidak lekas sembuh. Agar benar-benar sembuh, penderita stroke sebaiknya menghindari rasa pesimis. Hal ini penting Karena menurut ilmuwan belanda, penderita stroke yang memiliki kadar pesimisme tinggi berisiko hamper lima kali lipat untuk mengalami depresi pasca-stroke. Di Universitas Maastricht, Belanda menemukan depresi pasca-stroke tidak hanya disebabkan oleh kerusakan jaringan otak, tetapi juga pada kecenderungan umum seseorang untuk bereaksi (marah, cemas, dan sedih) terhadap peristiwa-peristiwa yang menyedihkan dan mengesalkan. Beberapa peneliti menguji 190 orang yang sembuh dari serangan stroke pertama. Mereka ingin melihat adanya gejala-gejala depresif pada satu, tiga, enam,Sembilan, 12 bulan setelah serangan. Subjek penelitian tersebut diminta mengisi kuesioner yang meliputi lima karakter, yaitu neuritis (gangguan jiwa tanpa kerusakan organic,misalnya histeris), ekstrovet,terbuka pada pengalaman baru, ramah, dan hati-hati. Mereka harus memberi respon. Hasil penelitian tersebut mengungkapkan bahwa satu tahun setelah terserang stroke 38,7% penderita mengalami depresi. Mereka yang nilai neuritisnya tinggi berisiko 4,6 kali lipat untuk mengalami depresi pasca-stroke dari pada mereka yang nilainya rendah. Efek ini juga lebih kuat terjadi pada pria dari pada wanita. Neuritisme merupakan satu-satunya karakter yang dapat meningkatkan resiko depresi pasca-stroke. Selain itu, adapula penyebab kadar ketidak mampuan fungsi motorik penderita. Gejala depresi sendiri yang paling umum dan paling terlihat adalah kesedihan. Kemurungan akan menetap secara terus menerus dan ditambah kecenderungan untuk lebih sering menangis hingga menimbulkan rasa pesimis. Rasa pesimis itu menghasilkan perasaan depresi yang dapat menggangu keseimbangan emosional kita.
Kehidupan ini sendiri merupakan penyebab utama masalah-masalah emosional. Hidup berarti memiliki hubungan, bekerja , berusaha, membesarkan anak-anak, bertambah tua, pension, dan merenungkan kematian. Semua ini dapat memicu timbulnya depresi. Saat kekhawatiran anda akan peristiwa hidup ini menjadi sangat besar, anda akan merasa tenggelam di dalamnya. Hal ini dapat memunculkan suatu siklus yang dapat melemahkan kemampuan anda menghadapi dan mengatasi masalah-masalah yang timbul sampai akhirnya menjadi depresi. Untungnya, depresi adalah kondisi yang dapat di balik keadaanya atau bahkan dicegah dengan adanya waktu dan kesedian untuk membuat komitmen pribadi pada pemulihan. Jadi, tergantung seberapa kuat keinginan anda untuk menjadi manusia yang slalu menghindari rasa pesimis. Intinya bertindaklah pada keseimbangan mental dalam menghadapi siklus hidup tanpa ada rasa pesimis. Ingatlah bahwa daya nalar kita masih mampu menyelesaikan semua cobaan duniawi yang terjadi.  

Tidak ada komentar:

Posting Komentar