BLOGGER TEMPLATES AND TWITTER BACKGROUNDS

Rabu, 09 Maret 2011

pesimis

Pesimis adalah memandang alam dengan kebencian, dan melihat dunia dengan kemurkaan. Orang yang pesimis melihat sesuatu itu hitam. Baginya, bunga itu tampak berduri, butir tanaman tampak baginya bom, dan melihat hujan baginya bagaikan api. Orang pesimis itu selalu mengerutkan dahi, berwajah muram, dadanya sempit, tidak mempunyai asa, harapan, jalan keluar, tidak pula kemudahan. Dia melihat bahwa hari-hari itu selamanya malam, kefakiran akan selalu meyertai, kelaparan akan senantiasa menemani, dan sakit tidak akan sembuh. Kamus orang pesimis itu berisi kematian, sakit, kebinasaan, kegalauan, kegagalan, dan keterpurukan. Orang pesimis mati setiap hari hingga berkali-kali, merasa apar padahal dia masih kenyang, merasa fakir padahal dia kayak arena dia mentaati setan.
“Setan menjajikan (mentakut-takuti) kemiskinan kepadamu dan menyuruh kamu berbuat keju (kikir).”(Al-Baqarah:268)
 Pesimis adalah sikap dimana manusia banyak didominasi oleh pikiran negatif. Manusia yang pesimis memiliki hidup penuh kebimbangan
dan keraguan, tidak yakin pada kemampuan diri sendiri, kepercayaan
dirinya mudah goyah dan mudah putus asa kalau menemui kesulitan atau
kegagalan, selalu mencari alasan dengan menyalahkan keadaan dan orang
lain sebagai proteksi untuk membenarkan dirinya sendiri, padahal di
dalam dirinya dia tahu bahwa betapa rapuh mentalnya, orang pesimis
lebih percaya bahwa sukses hanyalah karena kebetulan, keberuntungan
atau nasib semata.
Lawan dari pesimis adalah optimis. Orang yang otimis memiliki sikap yang banyak didominasi oleh pikiran positif. Orang yang optimis berani
mengambil resiko, setiap mengambil keputusan penuh dengan keyakinan
dan kepercayaan diri yang mantap. orang optimis bukanlah karena
melihat jalan mulus di hadapannya, tetapi orang yang mempunyai
keyakinan 100% dalam melaksanakan apa yang harus diperjuangkan, orang
optimis tahu dan sadar bahwa dalam setiap proses perjuangannya pasti
akan menghadapi krikil-krikil kecil ataupun bebatuan besar yang
selalu menghadang!
Orang yang pesimis selalu memandang realita dengan kacamata negatif, dan menimbulkan masalah besar yang akan menjadi beban baru dalam kehidupannya.Terlebih lagi jika oaring pesimis memiliki pengalaman gagal dalam kehidupannya,maka kegagalan yang pernah dialami dianggapnya akan berulang kembali terhadap aktivitas baru yang akan dilakukan.Orang pesimis biasanya lemah dan lamban dalam mensikapi keadaan,, mereka menghadapi situasi mudah dengan sikap yang sulit dinalar, dalam diri orang pesimis selalu muncul pertanyaan di antaranya (aku malu, aku takut, aku tidak bisa, aku nanti gagal, wah repot lagi, dll). Setiap melihat kenyataan maka yang muncul adalah pikiran-pikiran buruk yang dianggapnya sebagai kenyataan yang pasti akan terjadi, sehingga menyebabakan orang pesimis tidak ada keberanian untuk berbuat atau pun mengambil manfaat dari situasi dan keadaan yang dihadapi.
اللَّهُمَّ لَا خَيْرَ إِلَّا خَيْرُكَ وَلَا طَيْرَ إِلَّا طَيْرُكَ وَلَا إِلَهَ غَيْرُكَ
Allaahumma Laa Khaira Illaa Khairuka, wa Laa Thaira Illaa Thairuka, wa Laa Ilaaha Ghairuka
“Ya Allah, tidak ada kebaikan kecuali kebaikan yang berasal dari-Mu dan tidak ada kesialan kecuali kesialan yang berasal dari-Mu (yang telah Engkau tetapkan), dan tidak ada tuhan selain Engkau.” (Hadits shahih, riwayat Ahmad)
Dasar Hadits
Diriwayatkan dari Abdullah bin ‘Amr radhiyallahu 'anhu, ia berkata: “Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam bersabda,
مَنْ رَدَّتْهُ الطِّيَرَةُ مِنْ حَاجَةٍ فَقَدْ أَشْرَكَ
Siapa yang mengurungkan niatnya karena thiyarah, maka ia telah berbuat syirik.” Lalu para sahabat bertanya, “Apa tebusan bagi hal itu?” Beliau bersabda, “Hendaknya salah seorang mereka membaca,
اللَّهُمَّ لَا خَيْرَ إِلَّا خَيْرُكَ وَلَا طَيْرَ إِلَّا طَيْرُكَ وَلَا إِلَهَ غَيْرُكَ
Ya Allah, tidak ada kebaikan kecuali kebaikan yang berasal dari-Mu dan tidak ada kesialan kecuali kesialan yang berasal dari-Mu (yang telah Engkau tetapkan), dan tidak ada tuhan selain Engkau.” (HR. Ahmad: 2/220, dari Abdullah bin Amr radhiyallahu 'anhuma. Dishahihkan oleh Syaikh Ahmad Syakir dalam Ta’liq Musnad Ahmad no. 7045)
 Mengapa manusia pesimis

Terdapat dua faktor umum yang mendorong manusia menganut pesimis:
  1. Faktor internal atau individual;
  2. Faktor eksternal atau sosial.     
Adalah tidak diragukan bahwa dalam kerangka pengenalan manusia mustahil dipisahkan dari pengaruh individu dan masyarakat, karena keduanya saling berpengaruh satu sama lain dan kalau faktor-faktor di atas dibagi menjadi dua bagian tidak lain adalah semata-mata karena intensitas efek dan pengaruh faktor yang satu atas faktor lainnya. Faktor-faktor internal seperti ketiadaan atau kesalahan dalam pendidikan, perasaan terhina, tidak rela atas dirinya, dan aspek kejiwaan lain. Faktor-faktor eksternal seperti kerusakan lingkungan sosial, perubahan nilai-nilai manusia, pandangan dunia, dan lain lain.
Pada kesempatan ini, hanya faktor-faktor yang terpenting yang akan dianalisa. Di antara banyak faktor yang mungkin berpengaruh dalam mengantarkan manusia ke lembah pesimisme dan nihilisme, yang akan disebutkan adalah faktor-faktor yang bersifat umum dan universal yang meliputi banyak motivasi-motivasi partikular. Sebagai contoh, kerusakan dan kesalahan pendidikan merupakan salah satu faktor yang umum dan universal yang bisa mencakup aspek-aspek partikular seperti ketiadaan kasih sayang dalam program pengajaran, pendekatan yang non-manusiawi, kekerasan, dan lain-lain.
Dalam mengkaji faktor-faktor tersebut di atas harus memperhatikan poin-poin sebagai berikut:
  1. Mustahil dapat dikatakan bahwa hanya satu faktor dan penyebab hadirnya pesimisme dan nihilisme, karena tabiat manusia hanya dapat berubah dengan faktor-faktor yang banyak. Lebih dari apabila hanya satu faktor yang berpengaruh dalam kejiwaan manusia, mekanisme defensif yang ada dalam diri manusia akan bisa menjinakkannya dan manusia tak terpengaruh olehnya.
  2. Kecenderungan manusia pada pesimisme dan nihilisme memiliki derajat dan tingkatan, yakni semua individu yang terjebak dalam pesimisme dan nihilisme tidak berada dalam satu tingkatan kualitas yang sama. Dan kualitas ini sangat bergantung pada pribadi setiap individu.
  3. Intensitas dan bentuk pesimisme dan nihilisme pada individu bergantung pada faktor-faktor yang berpengaruh atasnya, seperti seorang yang patah hati dalam cinta atau tidak berhasil mencapai kedudukan yang diinginkan akan terjebak dalam pesimisme, namun setelah berlalunya waktu ia mendapatkan cinta yang baru atau berhasil menggapai posisi yang lain, dengan demikian ia bisa bangkit lagi dan menjauh dari pesimisme. Sementara seorang yang jatuh ke lembah pesimisme dan nihilisme karena faktor kekeliruan dalam mengenal hakikat dan tujuan penciptaan alam semesta adalah sangat mungkin tetap terjebak dalam paham tersebut sepanjang hayatnya.
  4. Pengaruh pesimisme dan nihilisme pada setiap manusia juga sesuai dengan umur dan kualitas rasionalitas dan pemikirannya serta karakter pribadi masing-masing individu, karena: Pertama, anak remaja pada masa baligh biasanya mengalami semacam goncangan kejiwaan dan cenderung pesimis yang disebabkan oleh transformasi masa kanak-kanak ke masa remaja dan perubahan pada struktur pisik dan jiwa yang merupakan kemestian di masa baligh. Sementara manusia yang telah dewasa lazimnya tidak mengalami perubahan semacam itu. Kedua, manusia yang memiliki pengetahuan luas dan setelah mempelajari beragam aliran-aliran pemikiran lantas tidak bisa menetapkan salah satu pemikiran yang benar, pada akhirnya akan mengalami kebingungan dan terjebak dalam pesimisme dan nihilisme. Pesimisme orang seperti ini pasti berbeda dengan pesimisme anak remaja yang baru melewati masa baligh. Ketiga, sisi kepribadian manusia menentukan kemampuan defensif dalam menghadapi realitas arus negatif pesimisme dan nihilisme. Individu yang terwarnai dengan warna asli keagamaan sangat sulit dan hampir mustahil terpengaruh oleh arus negatif ini. Sementara seseorang yang bebas dan tidak terikat dengan budaya agama kemudian tersandung dengan persoalan besar kehidupan yang tidak mampu ia selesaikan kemungkinan besar akan terimbas oleh arus itu.
  5. Pesimisme dan nihilisme memiliki tahapan yang beragam dan sangat mungkin seseorang akan terjabak dalam pesimisme pada waktu tertentu, namun setelah penyebab keterjebakan itu sirna ia tak berada dalam lembah pesimisme. Keadaan lain mungkin terjadi pada manusia dimana sangat mustahil dia dapat bangkit dan melepaskan dirinya dari cengkeraman pesimisme sepanjang hidupnya.
Di bawah ini kami akan jabarkan dan uraikan faktor-faktor mendasar yang menyebabkan hadirnya kecenderungan manusia dan keterjebakannya dalam Pesimisme dan Nihilisme.
1. Dilema Penciptaan
Dalam perjalanan sejarah, manusia senantiasa ingin mengetahui dari mana dia berasal, untuk apa ia hadir di muka bumi ini, dan kemana ia akan pergi setelah kematian. Sebagian manusia merasa tidak mampu memberikan solusi atas persoalan-persoalan tersebut kemudian mengabaikannya dan sebagian lain yang minoritas sangat serius memandang masalah-masalah itu dan berusaha secara terus menerus mencari jawaban hakikinya.
Permasalahan tersebut dihadapi oleh semua kalangan pemikir dan filosof, namun problematika penciptaan itu dapat diselesaikan dengan cermat bagi sebagian filosof, terutama para filosof Muslim. Hal ini karena para filosof Islam, seperti Al-Farabi, Ibnu Sina, Khwajah Nashiruddin Thusi, Mulla Sadra, dan filosof Islam kontemporer, bersentuhan dengan sistem filsafat yang sempurna dan pengetahuan mereka yang lengkap terhadap teks-teks suci agama Islam. Dengan demikian, para filosof ini tidak jatuh ke lembah pesimisme dan nihilisme. Berbeda dengan para pemikir lainnya, seperti tokoh-tokoh yang dikenal sebagai pendukung filsafat pesimisme dan nihilisme, karena mereka tidak mempunyai sistem filsafat yang komprehensif, metodologi berpikir yang sempurna, dan tidak menjangkau sumber asli agama pada akhirnya tidak dapat memahami dan memberikan solusi yang sempurna atas semua persoalan tersebut. Dan puncaknya adalah mereka berpegang pada konsep pesimisme dan nihilisme.
Di sini bisa dikatakan bahwa manusia yang tidak berkontemplasi, bertadabbur, bertafakkur atas hakikat dan tujuan penciptaan serta tidak berupaya menggali rahasia eksistensi niscaya menyebabkan dia tertarik ke arah pesimisme dan tersungkur ke jurang gelap nihilisme. Sementara berpegang teguh pada sistem filsafat Ilahi dan teks suci agama, manusia dapat menyingkap tabir rahasia alam dan akan mengantarkannya pada pengetahuan hakiki tentang tujuan dan filsafat penciptaan, dengan demikian dia dapat selamat dari keterjebakan dalam pemikiran pesimisme dan pandangan nihilisme.
2. Rahasia Kematian
Fenomena kematian merupakan salah satu faktor yang mendasar bagi kecenderungan manusia kepada pesimisme dan nihilisme. Hakikat kematian yang tak terungkap menarik begitu banyak para pemikir dan filosof ke arah pesimisme. Manusia yang telah terjebak dalam kesenangan lahiriah dan juga mengetahui bahwa kesenangan itu mesti berakhir, maka seketika itu ia akan putus asa dan pesimis, kemudian dia akan bertanya pada dirinya sendiri, apakah kehidupan ini memiliki nilai?
Orang-orang yang tidak terperangkap dalam pesimisme dan nihilisme adalah hanya orang-orang yang percaya bahwa pasca kematian terdapat alam keabadian (alam akhirat) dan yakin bahwa kehidupan di dunia ini adalah suatu tahapan untuk memasuki tahapan lain dari kehidupan yang lebih sempurna dan abadi, dengan demikian kematian bukan akhir dari kehidupan, tetapi jembatan yang menghubungkan antara dunia ini dengan dunia lain. Namun bagi mereka yang tidak percaya akan keberadaan alam-alam lain selain alam materi ini, maka kematian bermakna akhir kehidupan, dengan kedangkalan pengetahuan ini mereka niscaya akan pesimis dan menganut nihilisme.
3. Keraguan
Pada satu sisi keraguan merupakan salah satu faktor terpenting dalam mengenal alam wujud dan eksistensi. Seorang pemikir dan filosof yang belum mengalami keraguan terhadap masalah-masalah eksistensial dan ontologi pada umumnya tak bisa mengenal secara luas realitas-realitas lain.
Pencapaian-pencapaian ilmiah dan filsafat yang dialami oleh sekian banyak pemikir dan filosof bersumber dari keraguan-keraguan terhadap tema-tema mendasar makrifat manusia, apabila ilmu dan pengetahuan manusia  tidak diragukan oleh para ilmuwan, maka ilmu dan pengetahuan manusia akan tetap berada dalam tingkatan tertentu, tidak mengalami kemajuan, dan tidak akan lahir beragam aliran dan sistem pemikiran ilmu dan filsafat.
Jika manusia menjadikan keraguan tersebut sebagai perantara dan jembatan menuju perolehan pengetahuan dan makrifat ontologi serta ilmu-ilmu lainnya, maka hal tersebut sangatlah bermanfaat. Namun kalau keraguan seseorang tetap berlangsung, artinya dia tetap berada dalam keraguan dan tetap tinggal pada jembatan keraguan tersebut, bahkan meragukan hal-hal yang paling gamblang, jelas, dan aksioma sekalipun seperti meragukan keberadaan alam ini atau keberadaan dirinya sendiri, maka bentuk keraguan ini tidak boleh dikategorikan sebagai keraguan ilmu dan filsafat, karena orang seperti ini sesungguhnya mengalami sakit kejiwaan. Walhasil, bentuk keraguan semacam ini, yakni keraguan kejiwaan, akan menarik manusia kearah pesimisme dan nihilisme, karena dia telah sampai meragukan semua persoalan bahkan kepada keberadaan dan eksistensi kehidupannya sendiri.
4. Tiadanya Cita-Cita dan Ideologi     
Tanpa diragukan bahwa manusia yang tidak memiliki harapan, tujuan, cita-cita, dan ideologi pasti akan mengalami putus asa dan pesimisme. Seseorang yang tidak menentukan arah dan tujuan kehidupannya yang kemudian berusaha dengan segenap kemampuan menggapainya atau dia hanya mengikuti perubahan-perubahan yang ada dan menempatkan dirinya semata pada realitas yang ada, maka ketika berbenturan dengan berbagai kejadian dan fenomena yang tidak menguntungkan dirinya dan bahkan terjebak dalam persoalan yang tidak ada solusinya pasti akan putus asa dan pesimis.
Keberadaan tujuan, cita-cita, harapan dan ideologi dalam kehidupan pada beberapa aspek bisa mengantisipasi pesimisme dan nihilime, pertama manusia yang memiliki ideologi pasti akan berharap untuk sampai pada cita-cita ideologinya dan harapan ini akan mencegah manusia untuk putus asa dan pesimis. Kedua, segala usaha untuk mencapai tujuan ideologi membuat manusia menjadi sangat sibuk dengan dirinya dan tidak mengijinkan pikiran-pikirannya terpengaruh oleh pesimisme dan nihilisme.
Ketiadaan ideologi pada individu dan masyarakat merupakan salah satu alasan fundamental bagi kecenderungan sebagian besar remaja dan pemuda kepada pesimisme, karena mereka ini sama sekalai tidak mengetahui secara hakiki apa yang diinginkan dan apa yang dicari dalam kehidupan ini.
Perubahan-perubahan yang terjadi dimasyarakat dan kontradiksi-kontradiksi yang ada dalam berbagai tradisi kehidupan manusia menyebabkan lahirnya perubahan pada nilai-nilai, harapan, cita-cita, dan ideologi manusia, dan realitas perubahan yang tak tertolak ini menghadirkan keberadaan suatu kelompok manusia yang tidak mampu menetapkan satu ideologi bagi mereka secara sempurna. Bertrand Russel memandang bahwa salah satu faktor mendasar kecenderungan sebagian remaja dan pemuda di Barat kepada pesimisme adalah ketiadaan ideologi dan cita-cita yang sempurna. Ia sangat berkeyakinan bahwa perubahan nilai-nilai agama menyebabkan hilangnya berbagai cita-cita, berkata, “Apabila pemuda dan remaja di Barat sekarang ini hanya menampakkan sikap pesimisme, maka hal ini mesti disebabkan oleh faktor khusus. Pada masa kini, para pemuda bukan hanya tidak bisa menerima apa yang dikatakan pada mereka, bahkan mereka tidak bisa lagi meyakini dan mempercayai sesuatu. Dan keadaan ini sangatlah ajaib dan mesti mendapatkan suatu perhatian dan observasi khusus. Mari kita mengkaji ulang satu persatu cita-cita dan ideologi masa lalu dan mencari tahu mengapa cita-cita dan ideologi tersebut tidak lagi memberikan pengaruh dan menarik perhatian remaja dan pemuda.”[1]
5. Perubahan Nilai
Salah satu faktor yang penting ketika suatu masyarakat berpindah dan berubah dari satu keadaan kepada keadaan yang lain dan menyebabkan hadirnya pesimisme pada manusia adalah persoalan nilai-nilai, karena ketika terjadi perubahan pada setiap masyarakat begitu banyak nilai-nilai akan juga mengalami perubahan, diinginkan atau tidak. Perubahan nilai-nilai ini – dimana sebelum terjadinya perubahan tersebut manusia sangat bergantung dan bersandar padanya serta menafsirkan kehidupan dengannya – menyebabkan terjadinya suatu pukulan yang besar pada kejiwaan manusia. Seseorang yang sangat berpijak pada tradisi-tradisi, pada suatu kondisi akan mengalami kebingungan yang bersumber dari satu kontradiksi kejiwaan. Suatu kontradiksi dalam menerima dan memilih nilai-nilai tradisional dengan nilai-nilai baru. Kalau seseorang ini memiliki kualitas pikiran dan pengetahuan luas yang dengannya ia dapat memilah yang baik dan yang buruk serta memilih yang baik itu sebagai suatu nilai baru baginya, maka dia pasti terhindar dari problematika kejiwaan baik dari aspek pikiran maupun dari dimensi perbuatan. Namun apabila dia tidak mampu memilih suatu nilai baru baginya, yakni dia tidak bisa menerima nilai-nilai baru itu bagi pembentukan pribadinya dan penerapan nilai-nilai lama juga akan mengalami hambatan yang sulit, maka dia akan mengalami suatu keraguan yang berpuncak pada keadaan yang pesimisme dan putus harapan.
Sebagai contoh, salah satu nilai yang mengalami perubahan pada masa kini adalah cinta. Pada abad-abad yang lalu, cinta dan kasih sayang merupakan tiang pokok dan pondasi utama kehidupan manusia yang menyebabkan kehangatan pada keluarga dan keterikatan seseorang pada keluarganya, namun pada masa kini, dikarenakan kebebasan seksual, cinta dan kasih sayang tidak bermakna lagi. Hal inilah yang menyebabkan ketiadaan keterikatan manusia lagi pada kehidupan keluarganya. Nilai-nilai lain yang mengalami perubahan adalah dalam masalah akhlak. Pada masa kini, beberapa nilai akhlak mengalami perubahan lewat pemikiran Darwin, Marks, dan Nitche. Di masa lalu kasih sayang, cinta, memaafkan, kedermawanan, dan pemurah adalah nilai-nilai kebaikan, namun sekarang ini, menurut pandangan Nitche, kekerasan, kekejaman, kekejian, ketidaksopanan, pameran kekuatan, dan riya adalah nilai-nilai baik. Perubahan konsep ini menyebabkan memudarnya nilai-nilai akhlak, hubungan dan kepercayaan sesama manusia menjadi sirna, dan tak ada lagi cinta dan kasih sayang. Puncak dari semua perubahan nilai ini adalah hilangnya keterikatan manusia pada kehidupan.
6. Materialisme
Seorang penganut materialisme beranggapan bahwa seluruh fenomena, peristiwa, dan kejadian yang terwujud di alam semesta ini bersumber dari hal-hal yang bersifat kebetulan belaka dan tidak berasal dari rangkaian sebab-akibat (kausalitas). Mereka juga memandang bahwa manusia menjalani kehidupan di dunia ini dalam beberapa waktu dan kehidupan manusia akan berakhir dengan kematian (yakni pasca kematian tak ada lagi kehidupan bagi manusia). Ajaran materialisme menetapkan bahwa kehidupan dunia merupakan puncak tujuan manusia dan kebahagiaan dititik beratkan pada kehidupan materi dan kesejahteraan hidup. Sementara agama dan pandangan dunia ilahi meletakkan kehidupan dunia ini sebagai perantara dan bukan akhir kehidupan serta untuk mencapai kehidupan yang kekal dan sempurna mesti melewati gerbang kematian. Jadi dalam hal ini, kehidupan dunia merupakan alat untuk menggapai kesempurnaan hakiki dan bukan tujuan hakiki kehidupan manusia. Dengan demikian orang-orang yang beragama bisa menanggung kesulitan, penderitaan, dan malapetaka yang terjadi di dalam kehidupan duniawi dan tidak jatuh ke jurang pesimisme dan nihilisme. Berbeda dengan orang-orang materialisme yang tidak percaya pada Tuhan dan kehidupan pasca kematian, beranggapan bahwa keberadaan diri mereka dan alam semesta ini tidak memiliki arah dan tujuan serta memandang bahwa kehidupan dunia ini adalah perkara yang sia-sia dan tak bermakna. Kehidupan dunia dalam gagasan materialisme merupakan suatu pengulangan-pengulangan yang meletihkan dan membebani manusia, dengan demikian segala usaha manusia pun bersifat sia-sia dan tidak berguna sama sekali.
Kaum materialis tidak memahami rahasia dan hakikat penciptaan, oleh karena itu mereka pun tidak akan mengetahui asal keberadaan mereka, tujuan kehadiran mereka di dunia ini, dan puncak perjalanan kehidupan mereka. Ujung dari semua ini tidak lain ialah keraguan, pesimis, putus asa, merasa asing , teralienasi, dan tidak ada tempat untuk mengeluhkan dan memohon pertolongan.
Pada hakikatnya manusia membutuhkan tempat berlindung dan berpijak yang tanpa itu manusia mustahil menjalani kehidupan. Setiap tujuan yang dipilih dan ditetapkan oleh kaum materialis, karena bersifat nisbi dan relatif, bukan merupakan tempat berlindung dan batu pijakan hakiki. Namun orang-orang beragama yang menempatkan Tuhan sebagai tempat berlindung dan bersandar, karena Dia sebagai Yang Maha Mutlak dan meliputi segala perkara kehidupan manusia serta memiliki pengaruh yang tidak terbatas, merupakan sebaik-baiknya ideologi.
7. Lingkungan Sosial
Kondisi lingkungan sosial yang tidak seimbang menyebabkan begitu banyak manusia tertarik ke arah pesimisme dan nihilisme. Faktor ini, khususnya di abad kontemporer, merupakan salah satu hal yang mendasar keterjebakan manusia pada pesimisme. Tokoh-tokoh pencetus ide pesimisme, seperti Sartre, Albert K, dan Kafka, yang apabila ditelaah latar belakang kehidupan mereka nampak bahwa faktor lahirnya gagasan mereka ini disebabkan oleh kondisi lingkungan sosial yang tidak seimbang dan tidak teratur.
8. Pendidikan              
Seseorang yang dibesarkan dan dididik di dalam keluarga yang terdidik, suci, penuh kasih sayang dan cinta sangat kecil kemungkinan mengalami pesimisme. Hal ini akan sangat berbeda dengan seseorang yang dibesarkan di dalam keluarga yang tidak berpendidikan, tidak bermoral, penuh kebencian dan tidak memiliki cinta dan kasih sayang yang proporsional. Masalah pendidikan ialah hal yang paling mendasar untuk mewujudkan manusia yang sukses dan berhasil dalam kehidupan atau juga menghadirkan manusia yang pesimisme dan nihilisme. Pendidikan yang membuat manusia menjadi sempurna adalah pendidikan yang berpijak pada filsafat penciptaan, dalam koridor hakikat kemanusiaan, dan ajaran Ilahi.
9. Kegagalan Meraih Cita-Cita
Kebanyakan manusia meletakkan sesuatu dalam kehidupan sebagai cita-cita dan berusaha mewujudkannya. Namun karena suatu halangan mereka tidak dapat meraih cita-cita tersebut dan akhirnya berujung pada putus asa dan pesimisme. Penentuan cita-cita dan ideologi merupakan asas kehidupan, namun bersyarat bahwa ideologi yang dipilih oleh manusia itu mesti jauh dari segala kekurangan dan kelemahan. Manusia ketika menentukan suatu tujuan dan harapannya untuk mencapai tujuan tersebut harus sesuai dengan nilai yang ada pada tujuan itu, dengan ungkapan lain bahwa nilai harapan bergantung pada nilai tujuan dan cita-cita yang dipilih oleh manusia. Berdasarkan hal ini, kalau manusia berhasil menggapai cita-citanya, maka kebahagiaannya pasti sesuai dengan tingkatan nilai yang ditentukan dalam cita-citanya tersebut. Begitu pula sebaliknya, apabila dia tidak sukses meraih cita-citanya, maka kualitas putus asa dan pesimismenya sesuai derajat nilai cita-cita.
Walhasil, putus asa dan pesimisme setiap orang yang lahir dari kegagalan meraih cita-cita adalah bertingkat-tingkat dan berbeda-beda, karena bergantung pada nilai cita-cita tersebut. Oleh karena itu, pertama-tama harus teliti dalam memilih tujuan dan untuk tujuan ini mesti sesuai dengan nilai yang merupakan tuntutan hakiki kehidupannya. Manusia tidak selayaknya menentukan suatu tujuan yang pada hakikatnya bukan tujuan utama dan memandang tujuan tersebut sebagai sesuatu yang sangat bernilai dan berharga, karena kalau dia tidak berhasil mencapainya pasti akan mengalami putus asa, kekecewaan, pesimisme, dan nihilisme. Dengan demikian, dia justru akan kehilangan tujuan hakiki dan nilai kehidupan yang sangat berharga dan abadi, yakni kebahagiaan, kesempurnaan, dan keselamatan di alam akhirat yaitu alam pasca kematian.
10. Merasa Rendah Diri   
Merasa rendah diri dan hina juga merupakan faktor lahirnya pesimisme. Apabila rasa rendah diri ini mencapai derajat tertentu akan menyebabkan suatu penyakit kejiwaan. Pada umumnya, orang yang mengidap penyakit ini pada awalnya senantiasa melihat cacat dan kelemahan dirinya serta tidak memandang kelebihan dirinya.
Sesungguhnya perasaan seperti ini juga memiliki sisi positif, karena membuat manusia berusaha menyempurnakan dirinya. Tapi pada level negatif menyebabkan manusia merasa asing dengan diri sendiri dan larut dalam kelemahan dirinya. Dan karena dia merasa gagal dalam kehidupan lantas menjadi pesimis dan putus asa. Dia menderita terus menerus dalam kerendahan dirinya dan kehilangan sikap untuk mengambil suatu keputusan yang tegas dan benar.
11. Ketidaksesuaian dengan Lingkungan  
Kesesuaian dengan lingkungan merupakan salah satu syarat mendasar bagi kehidupan suatu makhluk hidup. Apabila diamati kehidupan binatang, maka kita akan memahami bahwa setiap kali berhadapan dengan kesulitan senatiasa berusaha supaya sistem kehidupannya disesuaikan dengan kondisi lingkungan dan adaptasi terhadapnya. Kalau binatang itu kehilangan adaptasinya, maka niscaya kehidupannya akan segera punah. Manusia dalam hal ini sedikit berbeda dengan hewan, manusia mempunyai ilmu dan kemampuan yang luas untuk beradaptasi terhadap lingkungan.
Apabila manusia tidak mampu menemukan lingkungan yang pantas dan sesuai dengannya, maka akan putus asa, mengalami goncangan kejiwaan, dan terjebak dalam pesimisme dan nihilisme. Dengan demikian, dia akan kehilangan nilai yang sangat berharga dalam kehidupannya yang mendatang, yakni akan kehilangan kesempurnaan hakiki dan kebahagiaan abadi.
12. Tidak Rela atas Keadaan Diri
Salah satu faktor penting dan mendasar yang menyebabkan manusia terjebak pesimisme adalah tidak rela terhadap kondisi diri, yakni manusia tidak rela atas jenis kelaminnya. Misalnya seorang laki-laki atau perempuan tidak rela atas kelaki-lakiannya atau keperempuannya. Kerelaan atas kondisi diri merupakan syarat atas keseimbangan jiwa dan ruhani manusia.

tips untuk mengatasi pesimis 
1. Yakinkan diri kita seyakin yakinya bahwa tidak ada yg tidak mungkin, dan kita dapat menghilangkan sifat pesimis itu.
2. Ingat bahwa sifat pesimis membuat kita merugi alias tidak ada untungnya
3. Selalu berpikir positif bahwa apa yang kita lakukan akan berhasil, walaupun gagal kita akan mendapatkan pengalaman yang berharga.
4. Jangan memandang kegagalan sebagai hal yang sangat patal, tapi jadikan sebagai pacuan agar kita lebih giat berusaha dan tangapi dengan santai.
5. Jangan memikirkan dampak negatif secara berlebihan dari apa yg kita lakukan atau berprasangka buruk tapi berpikirlah tentang dampak positifnya.
6. Ingat jangan mudah mengeluh..
7. Berbincanglah atau bergaul dengan orang-orang yang dikenal optimis dan giat berusaha.
8. Jika perlu bergurulah pada orang yang anda angap berpengalaman dan sangat yakin bahkan slalu optimis dengan apa yang dialakukan
9. Selalu ingat dampak pesimis Atau akibat yang selama ini kita alami dari virus ini.
10. Bandingkan diri anda dengan orang-orang yang optimis dan yakinkan bahwa jika dia bisa mengapa aku tidak.
11. Berusahalah dan berdoa..
Aku yakin kita bisa. Kita pasti bisa. Untuk itu mintalah dukungan dari orang yang kalian percaya dan kalian sayangi.
Dampak dari sifat pesimis: 

Dalam menghadapi persoalan, setiap orang memiliki sudut pandang kejiwaan yang berbeda-beda. Ada yang biasa biasa saja, ada yang selalu optimis,dan ada pula yang cenderung pesimis. Semua itu terkait dengan kehidupan masa lalu. Tempaan hidup yang dipengaruhi factor social dan ekonomi menjadikan manusia memilki naluri yang beragam. Jika kebetulan orang tersebut selalu melihat masa lalu yang negative dan hal-hal yang bersifat pesimis, ia akan lebih mudah dihinggapi gejala depresi.
Depresi bisa dipicu oleh banyak hal, selain social ekonomi juga termasuk factor genetic, peristiwa-peristiwa hidup, dan factor psikologis. Beberapa psikologis menghubungkan depresi dengan learned belplessness (ketidak berdayaan yang dipelajari) saat kita merasa begitu kehilangan kendali atas hidup kita sampai mencoba saja sudah terasa tidak berguna atau tidak ada tujuan lagi. Psikolog lainnya menghubungkan gejala ini dengan pemikiran yang salah mengenai cara kita memandang dunia mempengaruhi mood atau perasaan kita. Teori-teori psikoanalisis milihat depresi sebagai agresi yang berbalik kedalam diri sendiri. Selain itu, depresi juga dapat disebabkan oleh ketidakseimbangan biokimia. Contohnya, dikalangan penderita depresi ditemukan kadar asam amino tryptophan yang rendah.
Kemajuan penyembuhan penderita yang mengalami stroke, misalnya, sangat ditentukan oleh seberapa besar rasa pesimis atau optimisnya penderita selama menjalani perawatan. Tanda-tandanya timbulnya depresi biasanya apatis terhadap lingkungan sekitarnya, tidak lagi memikirkan cara menumbuhkan rasa optimisme pada dirinya, dan hanya berkonsentrasi pada segi fisik dan naluri emosinya saja. Dan hal ini akan menyiksa si penderita sehingga penyakitnya tidak lekas sembuh. Agar benar-benar sembuh, penderita stroke sebaiknya menghindari rasa pesimis. Hal ini penting Karena menurut ilmuwan belanda, penderita stroke yang memiliki kadar pesimisme tinggi berisiko hamper lima kali lipat untuk mengalami depresi pasca-stroke. Di Universitas Maastricht, Belanda menemukan depresi pasca-stroke tidak hanya disebabkan oleh kerusakan jaringan otak, tetapi juga pada kecenderungan umum seseorang untuk bereaksi (marah, cemas, dan sedih) terhadap peristiwa-peristiwa yang menyedihkan dan mengesalkan. Beberapa peneliti menguji 190 orang yang sembuh dari serangan stroke pertama. Mereka ingin melihat adanya gejala-gejala depresif pada satu, tiga, enam,Sembilan, 12 bulan setelah serangan. Subjek penelitian tersebut diminta mengisi kuesioner yang meliputi lima karakter, yaitu neuritis (gangguan jiwa tanpa kerusakan organic,misalnya histeris), ekstrovet,terbuka pada pengalaman baru, ramah, dan hati-hati. Mereka harus memberi respon. Hasil penelitian tersebut mengungkapkan bahwa satu tahun setelah terserang stroke 38,7% penderita mengalami depresi. Mereka yang nilai neuritisnya tinggi berisiko 4,6 kali lipat untuk mengalami depresi pasca-stroke dari pada mereka yang nilainya rendah. Efek ini juga lebih kuat terjadi pada pria dari pada wanita. Neuritisme merupakan satu-satunya karakter yang dapat meningkatkan resiko depresi pasca-stroke. Selain itu, adapula penyebab kadar ketidak mampuan fungsi motorik penderita. Gejala depresi sendiri yang paling umum dan paling terlihat adalah kesedihan. Kemurungan akan menetap secara terus menerus dan ditambah kecenderungan untuk lebih sering menangis hingga menimbulkan rasa pesimis. Rasa pesimis itu menghasilkan perasaan depresi yang dapat menggangu keseimbangan emosional kita.
Kehidupan ini sendiri merupakan penyebab utama masalah-masalah emosional. Hidup berarti memiliki hubungan, bekerja , berusaha, membesarkan anak-anak, bertambah tua, pension, dan merenungkan kematian. Semua ini dapat memicu timbulnya depresi. Saat kekhawatiran anda akan peristiwa hidup ini menjadi sangat besar, anda akan merasa tenggelam di dalamnya. Hal ini dapat memunculkan suatu siklus yang dapat melemahkan kemampuan anda menghadapi dan mengatasi masalah-masalah yang timbul sampai akhirnya menjadi depresi. Untungnya, depresi adalah kondisi yang dapat di balik keadaanya atau bahkan dicegah dengan adanya waktu dan kesedian untuk membuat komitmen pribadi pada pemulihan. Jadi, tergantung seberapa kuat keinginan anda untuk menjadi manusia yang slalu menghindari rasa pesimis. Intinya bertindaklah pada keseimbangan mental dalam menghadapi siklus hidup tanpa ada rasa pesimis. Ingatlah bahwa daya nalar kita masih mampu menyelesaikan semua cobaan duniawi yang terjadi.  

putus asa

Semua yang bergelar insan pastinya telah, pernah, dan akan berhadapan dengan pelbagai bentuk ujian, cabaran, masalah, kesulitan, atau kegagalan. Itulah hakikat insan yang hidupnya pasti berhadapan dengan pelbagai ujian dan cabaran. Bahkan Allah SWT sendiri menjelaskan hal ini melalui firmanNya dalam AlQuran:
“Maka apakah kamu mengira bahawa sesungguhnya Kami menciptakan kamu secara main-main dan bahawa kamu tidak akan dikembalikan kepada Kami?”
Dan dalam ayat yang lain Allah menerangkan: “Apakah manusia itu mengira bahawa mereka dibiarkan sahaja mengatakan; Kami telah beriman sedang mereka tidak diuji lagi?”
Ujian yang dihadapi berbeza antara seorang insan dengan insan yang lain. Ada yang diuji dengan kegagalan dalam sesuatu perkara, ada yang diuji dengan penindasan dan masalah, ada yang diuji dengan kebaikan, kekayaan, kemiskinan dan bahkan ada juga yang diuji dengan kesalahan, dosa-dosa, dan sebagainya. Pendek kata, semua orang pernah dan akan diuji. Persoalan yang penting yang ingin disampaikan bukanlah sekadar untuk membezakan bentuk ujian tersebut namun apa yang lebih penting bagaimana kita menghadapi ujian dan cabaran tersebut.
Jadi apakah tindakan kita dalam berhadapan dengan ujian tersebut. Adakah kita perlu kecewa dan marah atau berputus asa apabila berhadapan dengan pelbagai bentuk ujian tersebut? Bukankah sepatutnya sebagai seorang Muslim kita sepatutnya menjadikan ujian tersebut sebagai batu loncatan yang mengubah kita menjadi seorang yang lebih baik dan mengubah keadaan tersebut menjadi lebih baik.
Bukankah Allah telah menyatakan: “Allah tidak akan sekali-kali mengubah nasib sesuatu kaum melainkan kaum tersebut sendiri yang mengubahnya”
Inilah hebatnya orang Islam, kerana prinsip hidupnya yang jelas dan bermatlamat telah digariskan dengan jelas dalam Islam.Benarlah kata – kata Umar yang sangat terkenal akan hal ini.
“Kita adalah satu bangsa yang dimuliakan dengan Islam dan sekiranya kita mencari kemuliaan selainnya pastinya kemuliaan yang kita kecapi akan hilang”.
Pendek kata, janganlah kita berputus asa dalam berhadapan dengan ujian tersebut. Allah menyatakan dengan jelas dalam AlQuran bahawa sifat putus asa bukanlah sifat seorang Muslim. Seorang Muslim adalah seorang yang tidak mengenal erti putus asa dan sentiasa berusaha bersungguh-sungguh dalam apa jua perkara. Bukankah Allah swt telah menjelaskan hal ini dalam menceritakan kisah Nabi Yaakub dan anak-anaknya:
” Wahai anak-anakku! Pergilah dan intiplah khabar berita mengenai Yusof dan saudaranya, Dan janganlah kamu putus asa dari rahmat serta pertolongan Allah. Sesungguhnya tidak berputus asa dari Rahmat dan pertolongan Allah itu melainkan kaum yang kafir”.
Bahkan sehingga pelaku-pelaku dosa sekalipun tidak dibenarkan berputus asa sama sekali kerana sememangnya sifat ini adalah sifat yang terlarang bahkan keampunan Allah SWT itu sangat luas. Allah menjelaskan hal ini dalam sebuah ayat yang sugguh indah maknanya:
Katakanlah (wahai Muhammad): “Wahai hamba-hambaku yang telah melampaui batas terhadap diri sendiri (dengan perbuatan-perbuatan maksiat), janganlah berputus asa dari rahmat Allah, kerana sesungguhnya Allah mengampunkan segala dosa; sesungguhnya dialah jua yang Maha Pengampun; lagi Maha Mengasihani”.
Kalau dalam hal inipun dilarang berputus asa apatah lagi hal – hal yang lain. Tapi alangkah berbezanya realiti Muslim hari ini yang mudah sahaja berputus asa apabila gagal dalam sesuatu perkara atau mudah saja menyerah kalah apabila menghadapi cabaran yang sukar. Ikutilah teladan Rasulullah SAW dan sahabat – sahabat serta generasi Islam yang awal yang sentiasa bersemangat dan bersungguh- sungguh dalam apa jua bidang sekalipun. Ayuh wahai pemuda untuk kita bangkit kembali dan pastikan kita sentiasa cekal dan jauhilah sikap berputus asa.

Jika kita pernah gagal, ini tidak bermakna kita akan gagal selama-lamanya. Persoalan yang penting bukanlah bagaimana kita akan gagal tetapi persoalannya adalah bagaimana kita akan mengendalikan dan berhadapan dengan kegagalan tersebut.
Allah SWT tidak pernah bersikap zalim terhadap hamba Nya. Bahkan Dia Maha Adil dalam segala sesuatu. Sebaliknya manusialah yang mempunyai sifat gopoh. Mereka selalu menghadapi Qadha’ Allah dengan rasa kesal dan tidak reda, lebih-lebih lagi kalau yang menimpanya itu sesuatu yang pahit. Dia mengira kalau dia mendapat kesenangan itu membuktikan bahawa Allah reda kepadanya. Sebagaimana dia mengira bahawa Allah benci kepadanya jika ia mendapat bencana.Inilah gambaran akal manusia yang sangat terbatas. Sedangkan Allah menafikan sekeras kerasnya anggapan yang salah dan keliru tersebut di dalam firman-Nya: “Adapun manusia apabila Tuhannya mengujinya lalu dimuliakan-Nya dan diberikan-Nya kesenangan, maka dia berkata: Tuhanku telah memuliakanku. Adapun apabila Tuhannya mengujinya lalu membatasi rezekinya maka dia berkata: Tuhanku menghinakanku. Sekali-kali tidak (demikian).
Anggapan manusia pada kedua-dua keadaan diatas adalah keliru. Sebenarnya kelapangan atau kesempitan rezeki adalah ujian Allah terhadap hamba-Nya. Apakah mereka akan bersyukur atau kufur nikmat, apakah boleh sabar menghadapi cubaan atau panik. Balasan untuk seseorang yang kelak akan diterimanya adalah sesuai dengan sikapnya menghadapi ujian-ujian diatas. Balasan bukan terletak pada apa yang diperolehi seseorang di dunia ini samada senang atau susah. Kesimpulannya, janganlah kita berputus asa. Jadi bagaimanakah kita menghadapinya?:
• Sentiasa ingat bahawa setiap ujian yang menimpa adalah untuk menuntut kita untuk menjadi yang lebih baik. Rasulullah SAW menjelaskan:
“Sungguh mengkagumkan keadaan seorang mukmin, keadaan mereka sentiasa dalam kebaikan. Tidak terjadi hal yang demikian itu melainkan bagi seorang mukmin. Jika mendapat kesenangan ia bersyukur dan hal itu merupakan kebaikan. Dan jika ia tertimpa kesusahania bersabar dan itu juga merupakan kebaikan baginya”.
• Sentiasa memohon pertolongan Allah dalam segenap hal dan bertawakal kepada Allah. Dari Abdullah Bin Mas”ud RA, bahawa sesungguhnya Rasulullah SAW bersabda: Barangsiapa yanny selalu ditimpa kesedihan/kegundahan maka hendaklah dia membaca: “Ya Allah, sesungguhnya aku adalah hamba-mu, dan anak abdi-Mu, dan anak-anak-Mu, dan (berada) didalam genggaman-mu, ubun-ubunku ditangan-Mu, dan berlaku keatas (diri) ku hukum-Mu, dan adil padaku ketentuan-Mu, aku memohon kepadaMu dengan semua nama milik-Mu, (samada) yang Engkau namakan diri-Mu dengannya, atau yang Engkau turunkan dia di dalam kitab-Mu, atau yang Engkau simpan tersembunyi di alam ghaib disisi-Mu; kiranya Engkau jadikanlah Al Quran sebagai penghibur hatiku, dan sebagai penawar kesedihanku dan kedukaanku”. Tidak seorang hambapun yang membaca doa tersebut melainkan Allah hilangkan kedukaannya dan diganti-Nya (kesedihan itu) dengan kegembiraan.
Dan dalam firman Allah menjelaskan: “Dan apabila hamba-hambaKu bertanya engkau (Wahai Muhammmad) tentangKu, (maka jawablah) sesungguhnya Aku ini hampir, Aku menjawab seruan sesiapa yang berdo`a kepadaKu apabila dia berdo`a. Maka hendaklah dia menyahut seruan (menunaikan perintahKu) dan beriman kepadaKu mudah-mudah mereka selalu berada di atas petunjuk”.
• Bersabar dan Bersikap pro aktif serta tidak reaktif apabila menghadapi cabaran dan ujian. Sentiasa memikirkan peluang dan apa yang boleh dilakukan untuk memperbaiki keadaan tersebut dan bukannya dengan bereaksi dengan emosi dan hawa nafsu. Ingatlah setiap yang berlaku pasti ada hikmahnya.
Akhir kata marilah bersama- sama kita menghayati sebuah Hadith Rasulullah SAW,Sabda Nabi s.a.w kepada Ibnu `Abbas ketika itu dia masih kecil: Maksudnya: Wahai anak kecil! Sesungguhnya aku ingin mengajarmu beberapa kalimat, iaitu, jagalah Allah (jagalah perintahNya) nescaya Allah menjagamu. Jagalah Allah (jaga perintahNya) nescaya engkau dapati Dia berada di hadapanmu (menunaikan keperluanmu). Apabila engkau memohon pohonlah daripada Allah. Apabila engkau meminta pertolongan minta tolonglah daripada Allah.
Ada dua jenis keputusasaan. Pertama, muncul ketika berhadapan dengan kesulitan atau rintangan. Yang demikian itu tidak terdapat pada diri orang beriman. Ia harus selalu ingat bahwa Allah menjanjikan pertolongan kepada orang-orang beriman. Al-Qur`an menyatakan bahwa cukuplah hanya Allah bagi orang-orang beriman dan Dia menguatkan orang-orang beriman dengan bantuan-Nya.
Kedua, merupakan jenis keputusasaan yang lebih berbahaya, yaitu berputusasaan dari pengampunan Allah setelah berbuat salah atau dosa. Keputusasaan ini lebih berbahaya karena akan mengarah pada pikiran bahwa Allah tidak akan memaafkan dosa seseorang dan ia akan masuk neraka. Pikiran ini bertentangan dengan apa yang kita pelajari dalam Al-Qur`an. Sesungguhnya, Allah mengampuni dosa orang-orang yang menyesali perbuatannya. Tidak pernah ada kata “terlambat” dalam mencari pengampunan-Nya. Allah menegur hamba-hambanya,

“Hai hamba-hamba-Ku yang melampaui batas terhadap diri mereka sendiri, janganlah kamu berputus asa dari rahmat Allah. Sesungguhnya, Allah mengampuni dosa-dosa semuanya. Sesungguhnya, Dialah Yang Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.” (az-Zumar: 53)

Putus asa adalah godaan setan. Setan mencoba memengaruhi orang-orang beriman dengan membuat mereka bingung dan kemudian menjerumuskan mereka untuk berbuat kesalahan yang lebih serius. Tujuannya adalah agar orang-orang beriman tidak merasa yakin dengan keimanan dan keikhlasan mereka, membuat mereka merasa “tertipu”. Jika seseorang jatuh ke dalam perangkap ini, ia akan kehilangan keyakinan dan akibatnya akan mengulangi kesalahan yang sama atau bahkan lebih besar dari kesalahan sebelumnya.

Dalam kondisi demikian, orang beriman harus segera meminta ampunan Allah, berpikir seperti yang Al-Qur`an ajarkan dan segera membentuk pola pikir yang baru. Al-Qur`an menjelaskan apa yang harus dilakukan orang beriman dalam kondisi itu,

“Dan jika kamu ditimpa sesuatu godaan setan, maka berlindunglah kepada Allah. Sesungguhnya, Allah Maha Mendengar lagi Maha Mengetahui.” (al-A’raaf: 200)

Jika seseorang ikhlas dalam keimanannya kepada Allah, Allah akan mengampuni dosanya jika ia berbuat salah atau dosa. Bahkan jika ia berpaling dalam waktu yang lama, ia masih mendapatkan kesempatan untuk bertobat. Perbuatan setanlah yang menyebabkannya berputus asa. Allahlah satu-satunya yang dapat memberikan ampunan dan keadilan yang abadi dan yang menjanjikan kemenangan dan surga-Nya kepada orang-orang beriman. Saran dari Nabi Ya’qub harus menjadi panduan bagi semua orang beriman,
“… janganlah kamu berputus asa dari rahmat Allah. Sesungguhnya, tiada berputus asa dari rahmat Allah, melainkan kaum yang kafir” (Yusuf: 87)

Salah satu kunci untuk menghindari dari sifat putus asa adalah dengan melatih kesabaran. Kesabaran yang yang akan semakin memperkuat cita-cita dan akan mendekatkan ke jalan menuju surga, yaitu seperti kesabaran Bilal bin Rabah, Khabab, dan keluarga Yasir. Juga seperti kesabaran para sahabat yang diberkati, juga kesabaran para sahabat yang diboikot, dan para sahabat yang hijrah ke mereka Habasyah, dan kesabaran para sahabat yang ditangkap karena berpegang pada perkataan Tuhan kami adalah Allah”.
Kesabaran yang hakiki juga harus seperti kesabaran kaum Muhajirin dan Anshar pada saat memerangi kaum Musyrik, bangsa Persia, dan Romawi. Seperti kesabaran sahabat yang ditawan, juga kesabaran yang para Muhajidin yang gugur.
Kesabaran yang sebenarnyaadalah kesabaran pada saat melaksanakan amar ma’ruf nahi munkar, dan tidak lemah meskipun dihadapkan kepada berbagai penindasan di jalan Allah. Sesuai dengan Firman Allah :

kamu sungguh-sungguh akan diuji terhadap hartamu dan dirimu. dan (juga) kamu sungguh-sungguh akan mendengar dari orang-orang yang diberi kitab sebelum kamu dan dari orang-orang yang mempersekutukan Allah, gangguan yang banyak yang menyakitkan hati. jika kamu bersabar dan bertakwa, Maka Sesungguhnya yang demikian itu Termasuk urusan yang patut diutamakan.(QS Ali Imran ayat 186)

Dan sungguh akan Kami berikan cobaan kepadamu, dengan sedikit ketakutan, kelaparan, kekurangan harta, jiwa dan buah-buahan. dan berikanlah berita gembira kepada orang-orang yang sabar. (yaitu) Orang-orang yang apabila ditimpa musibah, mereka mengucapkan: "Inna lillaahi wa innaa ilaihi raaji'uun (Sesungguhnya Kami adalah milik Allah dan kepada-Nya-lah Kami kembali )".     Mereka Itulah yang mendapat keberkatan yang sempurna dan rahmat dari Tuhan mereka dan mereka Itulah orang-orang yang mendapat petunjuk. (QS Al-Baqarah 155-157)

Dengan kesabaran dan Keridhaan tentu kita mendapatkan manfaat lain, yaitu pahala. Yang dimaksud dengan pahala disini adalah pahala atas keridhaannya terhadap qadha dari Allah dan kesabarannya. Juga bersyukur dan tidak mengadukan musibahnya kecuali kepada Allah SWT.

Dan untuk penutup tulisan ini saya tuliskan sebuah hadis yang maknanya sangat dalam bagi orang yang bersabar. Rasullullah bersabda :

“Sungguh mengagumkan urusan orang yang beriman, karena seluruh urusannya merupakan kebaikannya baginya. Jika ia mendapatkan kesenangan ia bersyukur, maka syukur itu adalah kebaikan baginya. Dan ketika ia ditimpa kesulitan, ia bersabar. Maka sabar itu merupakan kebaikan baginya. Hal seperti ini tidak akan didapati pada seseorang kecuali orang-orang yang beriman.”

Dari Abu Hurairah, Rasullullah pernah bersabda:

“Andaikata seorang Mukmin mengetahui siksaan yang ada di sisi Allah, tentu tak ada seorang pun yang yang tidak mengharap surga-Nya. Dan andaikata orang kafir mengetahui rahmat yang ada di sisi Allah, maka seorang pun tidak akan ada yang putus asa dari surga-Nya.
sebab-sebab putus asa 
ada beberapa hal yang kira-kira bisa menjadi penyebab orang menjadi putus ada. dengan mempelajari penyebabnya, kita bisa tahu solusi untuk mengatasinya. dengan demikian, diharapkan, ke depannya kita bisa membuat hidup kita bisa menjadi lebih hidup, hehehe...

1. pendidikan masa kecil yang terlalu dimanja

anak yang terlalu dimanja saat kecil dan remaja bisa membuat anak rapuh dan tidak kuat bila suatu saat menghadapi sedikit rintangan dalam hidupnya. ia sudah terbiasa hidup enak dan dilayani sehingga kurang punya kreativitas bisa menemui kesulitan. tapi hal ini bisa diubah bisa lingkungan selanjutnya (misal lingkungan kuliah) bisa mendukung dia untuk dewasa dan mandiri.

2. trauma masa lalu

semua manusia punya masa lalu dan seringkali masa lalu itu adalah hal yang pahit dan sulit dilupakan dalam hati. ada manusia yang bisa memaafkan masa lalu, tapi ada yg sulit untuk memaafkan dan selalu saja membekas dalam hatinya. seolah luka itu sulit untuk sembuh. nah, trauma atau kegagalan masa lalu ini bisa menjadi penyebab seseorang untuk putus asa. namun hal ini bisa diatasi dengan selalu menanamkan pikiran positif dalam dirinya. juga selalu menanamkan iman dalam hati, sehingga bisa menatap masa depan dengan lebih bercahaya.....

3. kurang bersyukur

sebetulnya manusia itu punya keistimewaan. namun manusia seringkali tidak melihat itu dalam dirinya. yang dilihat hanyalah kekurangan semata. padahal kalau mau mengaca dan mau melihat lebih dekat keadaan sekelilingnya, sebetulnya kita lihat masih banyak orang yang kondisinya di bawah kita. bila kita mampu melihat ke bawah insyaAllah kita akan menemukan banyak hal yang lebih dalam diri kita. dengan demikian kita tidak mudah putus ada bila dihadapkan pada kesulitan.

4. iman yang rapuh

iman yang ada dalam hati kita bisa naik bisa turun. nah bisa saat iman turun bisa menyebabkan kita putus asa. maka dari itu menjadi kewajiban kita untuk meningkatkan keimanan kita, minimal mempertahankan iman kita. dengan cara menambah ketaatan kita pada Allah dan menjauhi yang haram. dengan iman yang kuat insyaAllah hati kita akan tegar dalam menghadapi berbagi kesulitan.

5. keadaan lingkungan yang tidak mendukung

ini banyak menjadi penyebab orang menjadi patah arang, walaupun sebetulnya kita tidak bijak kalau menyalahkan lingkungan. bagaimanapun kita harus menyadari bahwa lingkungan itu tetap ada entah kita salahkan atau tidak. yang hanya kita lakukan hanyalah berusaha, berusaha mengubah lingkungan agar sesuai dan sejalan dengan keinginan dan cita-cita kita. kalaupun lingkungan tidak berpihak, maka kita bisa pindah ke lingkungan yang baru atau hijrah.
Dampak putus asa 
1. Depresi
Putus asa seringkali menyebabkan penderitanya mengalami depresi yang mendalam hingga tidak punya keinginan lagi unutk bangkit dan seolah-olah meras tidak mampu lagi menghadapi masalah-masalah yang ada dalam kehidupannya, dan hal ini tentunya sangat merugikan karena akan berdampak pada psikologis ataupun kejiwaan orang tersebut.

2. Stress
Apabila depresi secara berkepenjangan atau terus menerus dapat menimbulkan stress berat, putus asa bukanlah sesuatu yang harus diratapi secara mendalam dan terus menerus, stress merupakan gangguan syaraf  pada otak karena terlalu lelah dalam berpikir sehingga tidak mampu untuk menghasilkan pikiran-pikiran logis. Tentunya hal ini sangatlah mengkhawatirkan, karena menganggap putus asa itu adalah hal yang biasa saja sehingga kita mengabaikan dampak yang ditimbulkannya

3. Gila
Putus asa juga ternyata dapat menyebabkan kegilaan pada orang yang mengidap penyakit ini terlalu lama. putus asa dapat diibaratkan sebagai kanker dalam perasaan kita, yang apabila tidak ditangani secara serius dan intens dapat menyebabkan dampak yang lebih berbahaya karena dapat berkembang dengan sangat cepat. Dalam konteks ini stress berat yang berkelanjutan akibat putus asa dapat menyebabkan kegilaan pada seseorang. untuk itu berhati-hatilah.

4. Bunuh Diri
Dampak paling serius yang ditimbulkan oleh putus asa ini adalah, menimbulkan keinginan bagi seseorang untuk tidak melanjutkan kehidupan nya lagi atau bahasa ilmiahnya bunuh diri. Kecenderungan untuk bunuh diri sangatlah kuat apabila seseorang mengalami putus asa yang mendalam karena dapat memancing rasa kecewa yang teramat dalam dan mampu memicu pikiran alam bawah sadar kita unutk melakukan hal-hal bodoh yang cenderung tidak masuk akal.

Selasa, 08 Maret 2011

ghibah

Ghibah

Apa sih ghibah itu? Ghibah atau bahasa gaulnya "ngegosip" adalah membicarakan orang dengan hal yang tidak disukainya seandainya ia mendengar, baik tentang kekurangan yng ada pada badan, nasab (keturunan), akhlak, perbuatan, perkataan, agama, dunianya, bahkan pakaian, rumah dan kendaraannya.



"Janganlah sebagian kamu menggunjing (ghibah) sebagian yang lain, sukakah seorang diantaramu memakan saudaranya yang sudah mati? Maka tentulah kamu merasa jijik kepadanya. Dan bertakwalah kepada Alloh. Sesungguhnya Alloh Maha Penerima Taubat lagi Maha Penyayang."(QS. Al Hujurat, 049:012)

Al Qur'an mengibaratkan orang yang suka menggunjing, seperti orang yang memakan daging saudaranya sendiri. Begitu juga dengan orang yang mendengar ghibah. Ia tidak terbebas dari dosa kecuali dengan mengingkari secara lisan atau dengan hatinya. Seperti sabda Nabi yang diriwayatkan oleh Ahmad dan Tabhrani, "Barangsiapa yang membela kehormatan saudaranya yang sedang dipergunjingkan, maka Alloh akan membebaskannya dari api neraka."

HAL YANG MENDORONG GHIBAH

Harus diakui bahwa perempuanlah yang paling suka ngobrol ngalor-ngidul. Dan kadang (bahkan sering) obrolan itu menjurus kepada ghibah. Menurut para pakar psikologi, perempuan cenderung emosional dibandingkan pria. Hal-hal yang sangat peka begitu mudah menyentuh emosi dan mempengaruhi perempuan. Sedangkan gosip adalah pembicaraan menyangkut nasib orang lain yang bisa membuat perasaan kaget, miris, atau juga benci. Nah, disitulah emosi kaum hawa terpancing. Tapi, bukan berarti pria terbebas dari gosip lho!

Imam Al Ghazali dalam bukunya Mensucikan Jiwa, menyebutkan beberapa faktor yang mendorong ghibah. Pertama, melampiaskan kemarahan. Jika sedang marah, orang dengan mudah menyebutkan keburukan-keburukan. Jika seseorang itu tidak memiliki keberagamaan yang kuat maka ia tak akan mampu mencegah perbuatan ghibah itu.

Faktor kedua adalah menyesuaikan diri dengan kawan-kawan, dengan berbasa-basi dan mendukung pembicaraan mereka walaupun pembicaraannya itu menyebut-nyebutkan aib orang.

Ketiga, ingin mendahului menjelek-jelekkan keadaan orang yang dikhawatirkan memandang jelek ihwalnya di sisi orang yang disegani.

Keempat, keinginan bercuci tangan dari perbuatan yang dinisbatkan kepada dirinya.

Kelima, ingin membanggakan diri. Mengangkat dirinya sendiri dan menjatuhkan orang lain. Misalnya ia berkata, "si Fulan itu bodoh, pemahamannya dangkal dan ucapannya lemah."

Keenam, kedengkian. Bisa jadi ia mendengki orang yang disanjung, dicintai dan dihormati orang banyak, lalu ia menginginkan lenyapnya nikmat dari orang itu, tetapi tidak mendapat jalan kecuali dengan mempermalukan orang tersebut di hadapan orang banyak.

Ketujuh, bermain-main, senda gurau dan mengisi waktu kosong dengan lelucon. Lalu ia menyebutkan aib orang lain agar orang-orang menertawakannya. Penyebab timbulnya hal ini adalah kesombongan dan ujub.

Kedelapan, melecehkan dan merendahkan orang lain demi untuk menghinakannya. Penyebabnya adalah sombong dan menganggap kecil orang lain.


Sebagian orang –semoga Allah menunjuki mereka- tidak menganggap gunjingan (ghibah) sebagai perkara mungkar atau haram. Ada yang mengatakan, “Jika yang anda katakan itu memang terdapat padanya, gunjingan itu tidak haram”. Mereka tidak mempedulikan hadits-hadits Rasulullah SAW. Mohon syaikh yang mulia berkenan menjelaskannya.
Menggunjing (ghibah) hukumnya haram dan termasuk dosa besar, baik aib yang digunjingkan ada pada diri seseorang maupun tidak. Dasarnya adalah ketetapan dari Rasulullah SAW, ketika beliau ditanya tentang menggunjing, beliau bersabda: “Engkau membicarakan aib saudaramu padahal ia tidak suka (bila dibicarakan)”.

Ada yang bertanya, “Bagaimana bila yang aku katakan itu memang benar ada pada saudaraku?”. Beliau menjawab, “Jika memang benar bahwa yang kau katakan itu ada padanya, engkau telah menggunjingnya (ghibah), sementara jika itu tidak ada padanya, berarti engkau telah berdusta tentangnya”.
Diriwayatkan pula dari beliau SAW, pada malam Isra beliau melihat suatu kaum berkuku kuningan, mereka mencakari wajah dan dada dengan kuku tersebut. Beliau menanyakan tentang mereka, dijawab bahwa mereka adalah orang-orang yang memakan daging manusia dan merusak kehormatan sesama manusia.
Allah Ta’ala telah berfirman: “Hai orang-orang yang beriman, jauhilah kebanyakan dari prasangka, sesungguhnya sebagian prasangka itu adalah dosa dan janganlah kamu mencari-cari kesalahan orang lain dan janganlah sebagian kamu menggunjing sebagian yang lain. Sukakah salah seorang diantara kamu memakan daging saudaranya yang sudah mati. Maka tentulah kamu merasa jijik kepadanya. Dan bertakwalah kepada Allah. Sesungguhnya Allah Maha Penerima Taubat lagi Maha Penyayang”. (QS. al-Hujurat: 12)
Setiap muslim dan muslimah hendaknya mewaspadai perilaku ghibah (menggunjing). Hendaknya pula saling menasihati untuk meninggalkannya. Semuanya dalam rangka taat kepada Allah SWT dan RasulNya. Begitupula hendaknya punya semangat untuk menutupi aib saudaranya sesama muslim, tidak menyingkapkan aib mereka. Ghibah termasuk unsur kebencian, permusuhan, dan perpecahan masyarakat. Semoga Allah menunjukkan kaum muslimin kepada kebaikan.
Islam merupakan agama sempurna yang Allah Subhanahu wa Ta’ala anugerahkan kepada umat Nabi Muhammad Shallallahu’alaihi wasallam. Kesempurnaan Islam ini menunjukkan bahwa syariat yang dibawa Rasulullah Shallallahu’alaihi wasallam itu adalah rahmatal lil’alamin. Sebagaimana Allah Subhanahu wa Ta’ala telah mengkhabarkan di dalam firman-Nya (artinya): “Tidaklah Aku mengutusmu melainkan sebagai rahmatal lil’alamin.” (Al Anbiya’: 107)
Diantara wujud kesempurnaan agama Islam sebagai rahmatal lil’alamin, adalah Islam benar-benar agama yang dapat menjaga, memelihara dan menjunjung tinggi kehormatan, harga diri, harkat dan martabat manusia secara adil dan sempurna. Kehormatan dan harga diri merupakan perkara yang prinsipil bagi setiap manusia.
Setiap orang pasti berusaha untuk menjaga dan mengangkat harkat dan martabatnya. Ia tidak rela untuk disingkap aib-aibnya atau pun dibeberkan kejelekannya. Karena hal ini dapat menjatuhkan dan merusak harkat dan martabatnya di hadapan orang lain.
Rasulullah Shallallahu’alaihi wasallam bersabda:
كُلُّ الْمُسْلِمِ عَلَى الْمُسْلِم حَرَامٌ دَمُهُ وَ عِرْضُهُ وَ مَالُهُ
“Setiap muslim terhadap muslim lainnya diharamakan darahnya, kehormatannya, dan juga hartanya.” (H.R Muslim no. 2564)
Hadits di atas menjelaskan tentang eratnya hubungan persaudaraan dan kasih sayang sesama muslim. Bahwa setiap muslim diharamkan menumpahkan darah (membunuh) dan merampas harta saudaranya seiman. Demikian pula setiap muslim diharamkan melakukan perbuatan yang dapat menjatuhkan, meremehkan, atau pun merusak kehormatan saudaranya seiman. Karena tidak ada seorang pun yang sempurna dan ma’shum (terjaga dari kesalahan) kecuali para Nabi dan Rasul. Sebaliknya selain para Nabi dan Rasul termasuk kita tidak lepas dari kekurangan dan kelemahan.
Suatu fenomena yang lumrah terjadi di masyarakat kita dan cenderung disepelekan, padahal akibatnya cukup besar dan membahayakan, yaitu ghibah (menggunjing). Karena dengan perbuatan ini akan tersingkap dan tersebar aib seseorang,Ghibah ini erat kaitannya dengan perbuatan lisan, sehingga sering terjadi dan terkadang di luar kesadaran.
Ghibah adalah menyebutkan, membuka, dan membongkar aib saudaranya dengan maksud jelek. Al Imam Muslim meriwayatkan dalam kitab Shahihnya dari shahabat Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu, sesungguhnya Rasulullah Shallallahu’alaihi wasallam bersabda: “Apakah kalian mengetahui apa itu ghibah? Para shahabat berkata: “Allah dan Rasul-Nya yang lebih tahu.” Kemudian beliau Shallallahu’alaihi wasallam bersabda:
ذِكْرُكَ أَخَاكَ بِمَا يَكْرَهُ ، إِنْ كَانَ فِيْهِ مَا تَقُوْلُ فَقَدِ اغْتَبْتَهُ وَإِنْ لَمْ يَكُنْ فِيْهِ مَا تَقُوْلُ فَقَدْ بَهَتَّهُ
“Engkau menyebutkan sesuatu yang ada pada saudaramu yang dia membecinya, jika yang engkau sebutkan tadi benar-benar ada pada saudaramu sungguh engkau telah berbuat ghibah, sedangkan jika itu tidak benar maka engkau telah membuat kedustaan atasnya.”
Di dalam Al Qur’anul Karim Allah Subhanahu wa Ta’ala sangat mencela perbuatan ghibah, sebagaimana firman-Nya (artinya):
“Dan janganlah kalian mencari-cari kesalahan orang lain dan janganlah sebagian kalian menggunjing (ghibah) kepada sebagian yang lainnya. Apakah kalian suka salah seorang diantara kalian memakan daging saudaramu yang sudah mati? Maka tentulah kalian membencinya. Dan bertaqwalah kalian kepada Allah. Sesungguhnya Allah Maha Penerima taubat dan Maha Pengasih.” (Al Hujurat: 12)
Al Imam Ibnu Katsir Asy Syafi’i berkata dalam tafsirnya: “Sungguh telah disebutkan (dalam beberapa hadits) tentang ghibah dalam konteks celaan yang menghinakan. Oleh karena itu Allah Subhanahu wa Ta’ala menyerupakan orang yang berbuat ghibah seperti orang yang memakan bangkai saudaranya. Sebagaimana firman Allah Subhanahu wa Ta’ala … (pada ayat di atas). Tentunya itu perkara yang kalian benci dalam tabi’at, demikian pula hal itu dibenci dalam syari’at. Sesungguhnya ancamannya lebih dahsyat dari permisalan itu, karena ayat ini sebagai peringatan agar menjauh/lari (dari perbuatan yang kotor ini -pent). ” (Lihat Mishbahul Munir)
Suatu hari Aisyah radhiyallahu’anha pernah berkata kepada Rasulullah Shallallahu’alaihi wasallam tentang Shafiyyah bahwa dia adalah wanita yang pendek. Maka beliau Shallallahu’alaihi wasallam bersabda:
لَقَدْ قُلْتِ كَلِمَةً لَو مُزِجَتْ بِمَاءِ البَحْرِ لَمَزَجَتْهُ
“Sungguh engkau telah berkata dengan suatu kalimat yang kalau seandainya dicampur dengan air laut niscaya akan merubah air laut itu.” (H.R. Abu Dawud 4875 dan lainnya)
Asy Syaikh Salim bin Ied Al Hilali berkata: “Dapat merubah rasa dan aroma air laut, disebabkan betapa busuk dan kotornya perbutan ghibah. Hal ini menunjukkan suatu peringatan keras dari perbuatan tersebut.” (Lihat Bahjatun Nazhirin Syarah Riyadhush Shalihin 3/25)
Sekedar menggambarkan bentuk tubuh seseorang saja sudah mendapat teguran keras dari Rasulullah Shallallahu’alaihi wasallam, lalu bagaimana dengan menyebutkan sesuatu yang lebih keji dari itu?
Dari shahabat Anas bin Malik radhiyallahu’anhu, bahwa Rasulullah
Shallallahu’alaihi wasallam bersabda:
لَمَّا عُرِجَ بِي مَرَرْتُ بِقَوْمٍ لَهُمْ أَظْفَارٌ مِنْ نُحَاسٍ يَخْمِشُوْنَ وُجُوْهَهُمْ وَصُدُوْرَهُمْ ، فَقُلْتُ مَنْ هؤُلاَءِ يَاجِبْرِيْلُ؟ قَالَ : هؤُلاَءِ الَّذِيْنَ يَأْكُلُوْنَ لُحُوْمَ النَّاسِ وَيَقَعُوْنَ فِي أَعْرَاضِهِمْ
“Ketika aku mi’raj (naik di langit), aku melewati suatu kaum yang kuku-kukunya dari tembaga dalam keadaan mencakar wajah-wajah dan dada-dadanya. Lalu aku bertanya: “Siapakah mereka itu wahai malaikat Jibril?” Malaikat Jibril menjawab: “Mereka adalah orang-orang yang memakan daging-daging manusia dan merusak kehormatannya.” (H.R. Abu Dawud no. 4878 dan lainnya)
Yang dimaksud dengan ‘memakan daging-daging manusia’ dalam hadits ini adalah berbuat ghibah (menggunjing), sebagaimana permisalan pada surat Al Hujurat ayat: 12.
Dari shahabat Ibnu Umar radhiyallahu’anhu, bahwa beliau Shallallahu’alaihi wasallam bersabda:
يَا مَعْشَرَ مَنْ آمَنَ بِلِسَانَهِ وَلَمْ يَفْضِ الإِيْمَانُ إِلَى قَلْبِهِ لاَ تُؤْذُوا المُسْلِمِيْنَ وَلاَ تُعَيِّرُوا وَلاَ تَتَّبِعُوا عَوْرَاتِهِمْ فَإِنَّهُ مَنْ يَتَّبِعْ عَوْرَةَ أَخِيْهِ الْمُسْلِمِ تَتَّبَعَ اللهُ عَوْرَتَهُ وَمَنْ يَتَّبَعِ اللهُ يَفْضَحْهُ لَهُ وَلَو في جَوْفِ رَحْلِهِ
“Wahai sekalian orang yang beriman dengan lisannya yang belum sampai ke dalam hatinya, janganlah kalian mengganggu kaum muslimin, janganlah kalian menjelek-jelekkannya, janganlah kalian mencari-cari aibnya. Barang siapa yang mencari-cari aib saudaranya sesama muslim niscaya Allah akan mencari aibnya. Barang siapa yang Allah mencari aibnya niscaya Allah akan menyingkapnya walaupun di dalam rumahnya.” (H.R. At Tirmidzi dan lainnya)
Dari shahabat Jabir bin Abdillah radhiyallahu ‘anhu, beliau berkata: “Suatu ketika kami pernah bersama Rasulullah Shallallahu’alaihi wasallam mencium bau bangkai yang busuk. Lalu Rasulullah Shallallahu’alaihi wasallam berkata: ‘Apakah kalian tahu bau apa ini? (Ketahuilah) bau busuk ini berasal dari orang-orang yang berbuat ghibah.” (H.R. Ahmad 3/351)
Dari shahabat Sa’id bin Zaid radhiyallahu ‘anhu sesungguhnya Rasulullah Shallallahu’alaihi wasallam bersabda:
?إِنَّ مِنْ أَرْبَى الرِّبَا الإِسْتِطَالةَ فِي عِرْضِ المُسْلِمِ بِغَيْرِ الْحَقِّ وَفِي رِوَايَة : مِنْ أَكْبَرِ الْكَبَائِرِ
“Sesungguhnya termasuk riba yang paling besar (dalam riwayat lain: termasuk dari sebesar besarnya dosa besar) adalah memperpanjang dalam membeberkan aib saudaranya muslim tanpa alasan yang benar.” (H.R. Abu Dawud no. 4866-4967)
Dari ancaman yang terkandung dalam ayat dan hadits-hadits di atas menunjukkan bahwa perbuatan ghibah ini termasuk perbuatan dosa besar, yang seharusnya setiap muslim untuk selalu berusaha menghindar dan menjauh dari perbuatan tersebut.
Asy Syaikh Al Qahthani dalam kitab Nuniyyah hal. 39 berkata:
لاَتُشْغِلَنَّ بِعَيْبِ غَيْرِكَ غَافِلاً
عَنْ عَيْبِ نَفْسِكَ إِنَّهُ عَيْبَانِ
Janganlah kamu tersibukkan dengan aib orang lain, justru kamu lalai
Dengan aib yang ada pada dirimu, sesungguhnya itu dua keaiban
(Lihat Nashihati linnisaa’ hal. 32)
Maksudnya, bila anda menyibukkan dengan aib orang lain maka hal itu merupakan aib bagimu karena kamu telah terjatuh dalam kemaksiatan. Sedangkan bila anda lalai dari mengoreksi aib pada dirimu sendiri itu juga merupakan aib bagimu. Karena secara tidak langsung kamu merasa sebagai orang yang sempurna. Padahal tidak ada manusia yang sempurna dan ma’shum kecuali para Nabi dan Rasul.
Konteks dalam hadits:
ذِكْرُكَ أَخَاكَ بِمَا يَكْرَهُ
“Engkau menyebutkan sesuatu pada saudaramu yang dia membecinya.”
Hadits di atas secara zhahir mengandung makna yang umum, yaitu mencakup penyebutan aib dihadapan orang tersebut atau diluar sepengetahuannya. Namun Al Hafizh Ibnu Hajar menguatkan bahwa ghibah ini khusus di luar sepengetahuannya, sebagaimana asal kata ghibah (yaitu dari kata ghaib yang artinya tersembunyi-pent) yang ditegaskan oleh ahli bahasa. Kemudia Al Hafizh berkata: “Tentunya membeberkan aib di dahapannya itu merupakan perbuatan yang haram, tapi hal itu termasuk perbuatan mencela dan menghina.” (Fathul Bari 10/470 dan Subulus Salam hadits no. 1583, lihat Nashihati linnisaa’ hal. 29)
Demikian pula bagi siapa yang mendengar dan ridha dengan perbuatan ghibah maka hal tersebut juga dilarang. Semestinya dia tidak ridha melihat saudaranya dibeberkan aibnya.
Dari shahabat Abu Dzar radhiyallahu ‘anhu, bahwa Rasulullah
Shallallahu’alaihi wasallam bersabda:
مَنْ رَدَّ عِرْضَ أَخِيْهِ رَدَّ اللهُ عَنْ وَجْهِهِ يَوْمَ الْقِيَامَةِ
“Barang siapa yang mencegah terbukanya aib saudaranya niscaya Allah akan mencegah wajahnya dari api neraka pada hari kiamat nanti.” (H.R. At Tirmidzi no. 1931 dan lainnya)
Demikian juga semestinya ia tidak ridha melihat saudaranya terjatuh dalam kemaksiatan yaitu berbuat ghibah. Semestinya ia menasehatinya, bukan justru ikut larut dalam perbuatan tersebut. Kalau sekiranya ia tidak mampu menasehati atau mencegahnya dengan cara yang baik, maka hendaknya ia pergi dan menghindar darinya. Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman (artinya):
“Dan orang-orang yang beriman itu bila¬ mendengar perkataan yang tidak bermanfaat, mereka berpaling darinya, dan mereka berkata: “Bagi kami amal-amal kami dan bagimu amal-amalmu, semoga kesejahteraan atas dirimu, kami tidak ingin bergaul dengan orang-orang jahil.” (Al Qashash: 55)
Dari shahabat Abu Sa’id Al Khudri radhiyallahu ‘anhu, bahwa Rasulullah Shallallahu’alaihi wasallam bersabda:
مَنْ رَأَى مِنْكُمْ مُنْكَرًا فَلْيُغَيِّرْهُ بِيَدِهِ وَإِنْ لَمْ يَسْتَطِعْ فَبِلِسَانِهِ وَإِنْ لَمْ يَسْتَطِعْ فَبِقَلْبِهِ وَذالكَ أَضْعَفُ الإِيْمَانِ
“Barang siapa yang melihat kemungkaran hendaknya dia mengingkarinya dengan tangan. Bila ia tidak mampu maka cegahlah dengan lisannya. Bila ia tidak mampu maka cegahlah dengan hatinya, yang demikian ini selemah-lemahnya iman.” (Muttafaqun ‘alaihi)
Namun bila ia ikut larut dalam perbuatan ghibah ini berarti ia pun ridha terhadap kemaksiatan, tentunya hal ini pun dilarang dalam agama.
Lalu bagaimana cara bertaubat dari perbuatan ghibah? Apakah wajib baginya untuk memberi tahu kepada yang dighibahi? Sebagian para ulama’ berpendapat wajib baginya untuk memberi tahu kepadanya dan meminta ma’af darinya. Pendapat ini ada sisi benarnya jika dikaitkan dengan hak seorang manusia. Misalnya mengambil harta orang lain tanpa alasan yang benar maka dia pun wajib mengembalikannya. Tetapi dari sisi lain, justru bila ia memberi tahu kepada yang dighibahi dikhawatirkan akan terjadi mudharat yang lebih besar. Bisa jadi orang yang dighibahi itu justru marah yang bisa meruncing pada percekcokan dan bahkan perkelahian. Oleh karena itu sebagian para ulama lainnya berpendapat tidak perlu ia memberi tahukan kepada yang dighibahi tapi wajib baginya beristighfar (memohan ampunan) kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala dan menyebutkan kebaikan-kebaikan orang yang dighibahi itu di tempat-tempat yang pernah ia berbuat ghibah kepadanya. Insyaallah pendapat terakhir lebih mendekati kebenaran. (Lihat Nashiihatii linnisaa’: 31)
Para pembaca, karena perbuatan ghibah ini berkaitan erat dengan lisan yang mudah bergerak dan berbicara, maka hendaknya kita selalu memperhatikan apa yang kita ucapkan. Apakah ini mengandung ghibah atau bukan, jangan sampai tak terasa telah terjatuh dalam perbuatan ghibah. Bila kita bisa menjaga tangan dan lisan dari mengganggu atau menyakiti orang lain, insyaallah kita akan menjadi muslim sejati. Rasulullah Shallallahu’alaihi wasallam bersabda:
المُسْلِمُ مَنْ سَلِمَ الْمُسْلِمُوْنَ مِنْ لِسَانِهِ وَيَدِهِ
“Seorang muslim sejati adalah bila kaum muslimin merasa selamat dari gangguan lisan dan tangannya.” (H.R. Muslim)


Tips Menghindar Diri Dari Ghibah

Penyakit yang satu ini begitu mudahnya terjangkit pada diri seseorang. Bisa datang melalui televisi, bisa pula melalui kegiatan arisan, berbagai pertemuan, sekedar obrolan di warung belanjaan, bahkan melalui pengajian. Untuk menghindarinya juga tak begitu mudah, mengharuskan kita ekstra hati-hati

1. Berbicara Sambil Berfikir

Cobalah untuk berpikir sebelum berbicara, ‘perlukah saya mengatakan hal ini?’ dan kembangkan menjadi, ‘apa manfaatnya ? Apa mudharatnya?’. Berarti, otak harus senantiasa digunakan, dalam keadaan sesantai apapun. Seperti Rasulullah saw, yang biasanya memberi jeda sesaat untuk berfikir sebelum menjawab pertanyaan orang.

2. Berbicara Sambil Berzikir

Berzikir di sini maksudnya selalu menghadirkan ingatan kita kepada Allah SWT. Ingatlah betapa buruknya ancaman dan kebencian Allah kepada orang yang ber-ghibah. Bawalah ingatan ini pada saat berbicara dengan siapa saja, dimana saja dan kapan saja.

3. Tingkatkan rasa Percaya Diri

Orang yang tidak percaya diri, suka mengikut saja perbuatan orang lain, sehingga ia mudah terseret perbuatan ghibah temannya. Bahkan ia pun berpotensi menyebabkan ghibah, karena tak memiliki kebanggaan terhadap dirinya sendiri sehingga lebih senang memperhatikan, membicarakan dan menilai orang lain

4. Buang Penyakit Hati

Kebanyakan ghibah tumbuh karena didasari rasa iri dan benci, juga ketidakikhlasan menerima kenyataan bahwa orang lain lebih berhasil atau lebih beruntung daripada kita. Dan kalau dirinya kurang beruntung, diapun senang menyadari bahwa masih banyak orang lain yang lebih sengsara daripaad dirinya.

5. Posisikan Diri

Ketika sedang membicarakan keburukan orang lain, segera bayangkan bagaimana perasaan kita jika keburukan kita pun dibicarakan orang. Seperti hadis yang menjanjikan bahwa Allah akan menutupi cacat kita sepanjang kita tidak membuka cacat orang lain, sebaliknya tak perlu heran jika Allah pun akan membuka cacat kita di depan orang lain jika kita membuka ` cacat orang.

6. Hindari, ingatkan, diam atau pergi

Hindarilah segala sesuatu yang mendekatkan kita pada ghibah. Seperti acara-acara bernuansa ghibah di televisi dan radio. Juga berita-berita koran dan majalah yang membicarakan kejelekan orang. 

adapun obat pencegah ghibah; 
1. Ghibah dapat mendatangkan kemurkaan Alloh,
2. Membatalkan kebaikan-kebaikan di hari kiamat,
3. Memindahkan kebaikan-kebaikan kita kepada orang yang digunjing sebagai ganti dari kehormatan yang telah dinodainya. Jika tidak memiliki kebaikan yang bisa dialihkan, maka keburukan orang yang digunjing itu akan dialihkan kepada kita,
4. Pelajarilah tentang nash berghibah niscaya lidah kita tidak akan melakuk ghibah karena takut kepada hukum Alloh,
5. Merenungkan cacat diri sendiri sehingga malu jika membicarakan orang lain,
6. Bahwa orang lain merasa sakit karena ghibah yang dilakukannya, sebagaimana dia akan merasa sakit bila orang lain menggunjingnya,
7. Setiap kali mendengar selentingan, cepatlah berkata kepada diri sendiri, apakah aku mendapat manfaat atau menyeritakan kembali hal ini kepada orang lain?
8. Kurangi nongkrong di tempat yang nikmat untuk bergosip,
9. Pujilah diri sendiri setiap kali berhasil menahan untuk tidak bergosip tentang suatu hal yang baru kamu ketahui,
10. Rajinlah membaca Al Qur'an, lalu salurkan bahan gosipmu dengan membahas sesuatu yg bermanfaat atau berdiskusi.
l
dampak Ghibah;
1. Dampaknya Bagi sebuah Kelompok Dakwah

a. Kerasnya Hati, kaum beriman adalah orang-orang yang senantiasa lembut hatinya baik terhadap RABB-nya maupun terhadap sesama saudaranya, alangkah bahagianya kelompok dakwah yang para aktifisnya memiliki hati-hati yang bening bagai kaca, mereka tidak pernah mencari-cari kesalahan orang lain, bahkan lisan-lisan mereka senantiasa dipenuhi zikir dan doa bagi saudaranya sesama muslim, firman ALLAH:

“Dan orang-orang yang datang sesudah mereka (Muhajirin dan Anshar) mereka berdoa : Wahai RABB kami, beri ampunlah kami serta saudara-saudara kami yang telah beriman lebih dahulu dari kami, dan janganlah ENGKAU membiarkan kedengkian dalam hati kami terhadap orang-orang yang beriman. Wahai RABB kami sesungguhnya ENGKAU adalah Maha Penyantun lagi Maha Penyayag.” (QS 59/10)

b. Mendapat azab, berupa perpecahan dan silang sengketa yang tidak putus-putusnya dikalangan para aktifisnya dan timbulnya kedengkian dan permusuhan, kata-kata yang kasar dan caci-maki, yang kesemuanya bukan akhlaq yang Islami. ALLAH SWT memerintahkan kepada orang-orang yang beriman agar memperkuat persaudaraan diantara mereka dan menyatakan bahwa persaudaraan itu sebagai salah satu tanda keimanan dalam firman-NYA:

“Hanyalah yang disebut orang-orang beriman itu bersaudara, maka perbaikilah hubungan diantara saudaramu, dan bertaqwalah kepada ALLAH semoga kalian mendapat rahmat.” (QS 49/10)

2. Dampaknya Bagi para Aktifis

a. Diazab masing-masing, dan azab tersebut disegerakan ketika ia baru masuk ke dalam kubur, kata Ibnu Abbas ra:

Nabi SAW pernah melewati 2 kuburan lalu beliau SAW bersabda : “Kedua orang ini diazab, dan tidaklah mereka diazab karena sesuatu yang besar menurut mereka, padahal ia adalah dosa besar, adapun yang seorang ia sering mengadu domba diantara manusia, adapun yang satunya tidak bersih bersuci setelah buang air kecil.” (HR Bukhari 1/273 dan 276, Muslim 292, abu Daud 20, Tirmidzi 70, Nasai 1/28 dan 30)

b. Malas Melakukan Kewajiban, orang-orang yang berhati busuk maka ia akan kehilangan sifat khusyu’ dalam hatinya dan tidak bisa merasakan kelezatan ibadah dan munajat dalam dirinya, sehingga ibadahnya menjadi kering dari manisnya iman, firman ALLAH SWT:

“Minta tolonglah kalian semua melalui sabar dan shalat, dan sungguh hal itu teramat berat kecuali bagi orang-orang yang khusyu’, yaitu orang-orang yang menduga bahwa mereka akan menemui RABB-nya dan mereka akan dikembalikan kepada-NYA.” (QS 2/45-46)

c. Munafik, orang-orang yang berhati busuk pada orang lain maka oleh ALLAH SWT akan dihilangkan sifat kejujuran dalam dirinya dan ditumbuhkan sifat kemunafikan, karena kebiasaannya merusak kehormatan orang mu’min, sabda nabi SAW:




Jika terjebak dalam situasi ghibah, ingatkanlah mereka akan kesalahannya. Jika tak mampu, setidaknya anda diam dan tak menanggapi ghibah tersebut. Atau anda memilih hengkang dan ‘menyelamatkan diri.
 pengertian egois
"Orang yang tidak peduli dengan kepentingan orang lain, yang di dipikirkan hanyalah kepentingannya sendiri."

Dari pengertian itu, pernahkah kita sadari sering kali kita merasa bahwa yang terpenting kita terbebas dari masalah, kita tidak peduli bagaimana orang lain akan mengalami kesulitan karena kita. Pada saat kita berada dalam situasi yang berat, apakah kita pernah berpikir bahwa kalau kita melakukan hal itu ternyata orang lain yang kita rugikan? Meskipun kita melakukan nya untuk kebaikan kita sendiri?
Pada dasarnya sikap egois atau orang yang egois memiliki sifat serakah meskipun tidak selalu nampak bahwa itu serakah. Orang yang egois sebetulnya menyimpan ketakutan dan kekhawatiran akan kehilangan apa yang menjadi miliknya atau haknya. Dan sebetulnya orang tersebut memiliki kebutuhan yang besar akan ketenteraman atau keamanan.
Egois berasal dari kata ego, ego itu adalah aku dalam bahasa Yunani, jadi orang yang disebut egois orang yang memang mementingkan dirinya, mementingkan akunya. Jadi yang saya maksud egois adalah sikap mementingkan diri di atas kepentingan orang lain tanpa batas. Artinya tidak mengenal kondisi, dalam pengertian dengan siapakah kita bersama, pokoknya kita yang harus mendapatkan prioritas yang utama. Pada dasarnya orang yang egois memiliki sifat serakah meskipun tidak selalu nampak serakah. Orang egois sebetulnya menyimpan ketakutan, kekhawatiran. Apa yang dia khawatirkan, dia takut kehilangan apa yang menjadi miliknya atau haknya maka itulah dia tidak rela kehilangan sedikitpun yang sudah menjadi miliknya. Dia takut sekali, maka dikatakan orang yang egois sebetulnya mempunyai kebutuhan yang besar akan ketenteraman atau keamanan.
Penyebab orang memiliki sikap egois yang besar adalah:
  1. Sikap egois ini merupakan kelanjutan dari apa yang telah diterimanya selama ini. Misalnya sejak kecil ia dijunjung dan diutamakan, ia tidak pernah disalahkan dan senantiasa dibenarkan, orang seperti ini sewaktu dia dewasa, dia menuntut perlakuan yang sama dari semua orang. Dan dia akan gagal mengembangkan satu keterampilan yang sangat penting, yakni berempati yang artinya adalah menempatkan diri pada posisi orang lain, melihat sesuatu dari sudut pandang orang lain, merasakan sesuatu dari perasaan orang lain. Dalam hal ini anak tunggal cenderung juga untuk egois, karena anak tunggal tidak harus mengalah.
  2. Sikap egois timbul dari kelaparan, kelaparan emosional, kelaparan finansial atau kelaparan jasmaniah. Artinya anak-anak ini bertumbuh dalam lingkungan yang minus, kurang mendapatkan gizi-gizi emosional, perhatian, kasih sayang dari orangtuanya atau hidupnya susah sekali secara finansial atau jasmaniah. Meskipun tidak selalu, anak-anak yang dibesarkan dalam kekurangan yang begitu besar kalau nggak hati-hati akan menjadi orang dewasa yang sangat haus atau lapar akan pemenuhan. Sehingga waktu dia menerima, waktu dia mencicipi dia tidak bisa melepaskan, tapi ini tidak semua.
Memerangi sikap egois yang memang sudah mendarah daging:
  1. Kita mesti memahami sumber sikap egois kita, apakah sumbernya adalah karena kelebihan, kita terlalu banyak menerima sehingga kita menuntut orang memberikan yang sama.
  2. Bertanya, jika orang berada pada posisi saya, apa yang akan mereka lakukan. Saya nggak berkata jika saya berada pada posisi orang, sebab orang yang egois akan berkata kalau saya berada pada posisi orang, saya akan begini dirinya lagi yang muncul, jadi harus dibalik. Pertanyaan ini bertujuan untuk menempatkan diri pada posisi orang, melihat dari kaca mata orang, merasakan dari perasaan orang, sebab itulah yang telah mati dalam hidupnya.
  3. Berimanlah pada Tuhan yang memelihara hidup kita, selalu saya mau tekankan bahwa masih ada Tuhan dalam hidup ini dan Tuhan yang memelihara kehidupan kita, Dia nggak meninggalkan kita. Jadi jangan takut kehilangan, waktu kita melepaskan hak jangan takut rugi waktu kita berkorban, ada Tuhan yang melihat, ada Tuhan yang memberi berkat, ada Tuhan yang mencatat perbuatan manusia.
  4. Ambillah secukupnya, ambil yang menjadi milik kita, ambil secukupnya jangan berlebihan dan langkah yang kedua bagilah meskipun sedikit. Jadi orang yang egois perlu belajar mengambil tapi secukupnya, perlu belajar membagi meskipun sedikit, itu awalnya.

    Ciri-Ciri Pribadi yang Egois

    1.Hanya dapat melihat dari sudut pandangnya; tidak dapat melihat dari sudut pandang orang lain, apalagi merasakan apa yang orang lain rasakan. Jadi, tidak mudah untuk berdiskusi dengannya karena ia akan berusaha keras agar kita menuruti pendapatnya

    2.Hanya memikirkan kepentingan pribadinya; jadi, apa yang dikerjakannya selalu untuk kepentingan pribadi, bukan murni untuk kepentingan orang lain. Ia tidak mengenal makna pengorbanan dan ketulusan; semua hal diperhitungkan berdasarkan untung-ruginya.
Dampak Pribadi Egois
  • Lingkungan sulit menerimanya karena tidak ada usaha darinya untuk menyesuaikan diri. Daripada terjadi konflik, pada umumnya lingkungan akan menghindar berelasi dengannya sehingga ia terpaksa hidup dalam kesendirian. Malangnya, makin terkucil, makin ia menganggap bahwa lingkunganlah yang salah. Pada akhirnya orang yang egois hidup dalam kesendirian
  • lingkungan pun sulit untuk mempercayainya sebab lingkungan menilai ia tidak tulus. Semua yang dikerjakannya cenderung dinilai mempunyai maksud tersembunyi di belakangnya. Pada akhirnya relasinya dengan sesama terhambat dan makin hari makin sedikit orang yang bersedia berelasi dengannya. Kalaupun berelasi, relasi yang terjalin merupakan relasi timbal-balik, tanpa ketulusan dan pengorbanan.

  • Penyebab
    a.Sebagian pribadi egois berasal dari latar belakang keluarga yang terlalu memanjakan sehingga apa pun yang diminta selalu diberikan.
    b.Sebagian pribadi egois berasal dari latar belakang hampa kasih sayang sehingga ia tidak pernah belajar mengasihi. Ia menjadi hemat mengasihi dan berkorban karena ia tidak pernah mengenal kasih sayang.

    dampak sifat egois
     Sifat egois ini bisa berdampak negatif yang selalu hadir didalam hidup kita. Seperti; merasa diri selalu benar dan hebat, suka membantah bila dinasehati, tidak suka mendengarkan sesuatu yang baik yang disampaikan, hidup yang amat sangat terlalu bebas tanpa aturan dan larangan, memuaskan diri sendiri, suka merugikan orang lain, tidak perduli dengan orang-orang dan lingkungan disekelilingnya, dan semua hal negatif pada diri kita yang akan hadir dengan jelas. Coba kita pikirkan, bila kita memiliki sifat-sifat negatif seperti itu berarti sifat egois kita lah yang mengendalikan hidup kita sepenuhnya tanpa kita sadari. Semuanya menjadi serba tak terkendali dan tak terkontrol, bahkan tak bisa dihentikan oleh diri kita sendiri maupun orang lain. Yang pada akhirnya akan berakibat kerugian pada diri sendiri dan orang lain, seperti; musibah, bencana, permusuhan, pertengkaran, kriminalitas, dan pasti diri kita akan ditinggalkan oleh orang-orang terdekat dan disekeliling kita.
    Bila kita tahu hal-hal tersebut tidak pernah ada baiknya, tapi kenapa masih banyak manusia didunia ini dari dahulu sampai mungkin akhir kehidupan ini tetap tidak perduli dengan sifat egois yang negatif yang terus mengendalikan diri ini bahkan membiarkan semua sifat egois yang negatif itu terus hidup dan berkembang didalam diri kita? Ya, hanya diri kita sendirilah yang bisa menjawab dengan jelas semuanya.

    Disatu sisi sifat egois itupun bisa berdampak positif. Seperti; terlalu ingin melindungi orang yang penting didalam hidup kita demi keselamatannya, suka mengatur untuk kebaikan, tidak suka melihat hal-hal yang tidak baik, selalu berusaha walaupun sering mengalami kegagalan, bertekad untuk berhasil walaupun halang rintangan berbahaya sekalipun yang menghadang, membantah untuk sesuatu yang tidak baik dan berdampak buruk, dan semua hal positif yang lainnya. Sifat egois ini merupakan sifat yang dapat kita kendalikan dengan kesadaran yang penuh dan akan berdampak keuntungan bagi diri kita dan orang lain, seperti; keselamatan, keberhasilan, kesuksesan, kasih sayang dan kepedulian serta kepekaan terhadap orang lain dan lingkungan.

    Tuhan selalu menciptakan segalanya dengan dua sisi, positif dan negatif, hitam dan putih, kebaikan dan keburukan, keuntungan dan kerugian, dan banyak hal lainnya. Semuanya ini menjadi pilihan hidup kita masing-masing, manakah sifat egois yang pantas hadir didalam diri kita dan mana sifat egois yang harus kita buang serta singkirkan dari dalam diri kita sebelum semuanya menjadi penyesalan pada akhirnya. Sudah banyak contoh yang jelas dapat kita lihat karena dampak dari sifat egois, dan ternyata lebih banyak berdampak buruk serta kerugian dalam hidup ini. Jadi, gunakanlah akal dan pikiran kita yang Tuhan berikan sebagai anugerah terbesar untuk manusia agar kita dapat menentukan semua pilihan selama kita masih bisa bernafas.

    Harapan, usaha, doa dan keikhlasan, serta kerendahan hati yang harus kita tanamkan dalam hidup kita agar kita bisa melangkah kesatu titik kebaikan yang bisa membawa kita untuk mengendalikan semua sifat egois yang hidup didalam diri ini. Jadilah diri kita sendiri walau dengan banyak kekurangan, tapi tak merugikan orang lain.  :)